Hari ini mau berbagi cerita. Sedikit tentang betapa orang tua kita begitu mencintai anak-anaknya. Hal sepele memang, tapi kita sering lupa bagaimana cara mencintai mereka dengan indah.
Di sebuah pelatihan dasar mahasiswa pertengahan tahun ini, seorang pemandu pelatihan memutar video tentang cinta ayah terhadap anaknya. Sudah 2 bulan aku tidak bertemu ayah, tentu saja melihat video macam itu air mata menetes deras. Membawa kenangan berlayar kembali ke peristiwa 2 tahun lalu.
Pagi buta, awal September 2010
Hari ini tidak sama seperti hari-hari sebelumnya. Rutinitas bangun tidur, mandi, sarapan, dan berangkat sekolah kali ini berganti dengan persiapan mental. Masih sangat jelas di memoriku terakhir kali aku disuntik karena sakit parah sepulang dari Jakarta. Sekitar 4 atau 5 tahun yang lalu. Dan hari ini aku dipaksa Ayah dan Ibu untuk cek golongan darah di PMI pusat. Memang kata sebagian orang, cek golongan darah itu hanya seperti digigit semut dan hanya butuh 30 detik untuk melupakan rasa sakitnya. Siang ini rencananya aku akan ke kantor polisi sektor Klaten untuk mencari SIM C. Menginjak usiaku yang ke 17 tahun Ayah menjanjikan agar aku segera memperoleh surat izin mengemudi, mengingat aku sering kali kena tilang sepulang sekolah. Berhubung sampai usia 17 tahun kami sekeluarga belum yakin golongan darahku akhirnya sekalian deh mampir ke PMI pusat untuk cek darah.
Dengan surat izin palsu ke sekolah untuk pertama kalinya aku mbolos atas izin orang tua. pukul 8 pagi suara gerang motor Ayah sudah siap di halaman rumah untuk beranjak ke kantor PMI pusat. Sesampainya di sana, Ayah mengajakku pergi menuju ruang pendaftaran. tidak perlu menunggu banyak waktu aku dipanggil untuk cek golongan darah. Hanya butuh 3 menit dan hasilnya keluar. Kata bu dokter "Golongannya A reshus positif"
Jlebb..... berasa ketimpa belati dari atas. Ayah yang duduk disampingkku tercengang. mungkin dalam benaknya "Bagaimana bisa anakku bergolong darah A"
Melihat raut wajah ayah yang pasi terselip rasa takut di sela-sela garis keriputnya. Berharap ada kesalah dalam pengetesan golongan darah tadi. Akhirnya Ayah mulai memecah tanya diantara kita.
"Kok bisa A bu dokter? Saya dan istri golongan darahnya sama-sama O" tanya ayah dengan wajah cemas.
"Ya saya tidak tahu pak, tapi kalau keduanya O tidak mungkin anakknya punya golongan darah A" jawab bu dokter dengan wajah innocent.
Sesaat kurasakan genangan air mata berkumpul di kelopak mata bawah. Rasanya ingin menangis, marah, tidak terima, kecewa, akan tetapi aku harus marah pada siapa? Toh pada kenyataannya aku tidak paham siapa yang salah dalam hal ini. Yang aku tahu aku sudah terlahir dengan keadaan yang seperti ini, dengan segala kekurangan dan kelebihanku. Aku tidak berhak menyalahkan campur tangan Tuhan dalam penciptaanku. Tidak berhak pula menyalahkan kedua orang tua yang sudah susah payah membesarkan aku. Bahkan aku tidak punya hak menyalahkan Bu dokter maupun semua yang berkaitan dengan pengecekan golingan darah ini.
Aku dan Ayah pergi meninggalkan ruang pemeriksaan dengan raut pasi penuh rasa curiga. Sampai di tempat parkir PMI ayah bertemu seoarang kawan lama yang sekarang bekerja di PMI.
"Loh Pak, ada apa kok di sini ?" tanya kawan Ayah sembari menjabat tangan.
"Ini ngecek golongan darah anak. Kok golongan darah anak saya A ya? Padahal saya sama istri O?" tanya Ayah sedikit ragu.
"Wah ya gag bisa itu, gag mungkin pak, kemungkinannya yang salah dari istri sampean atau dari rumah sakit"
Jawaban yang ringan tapi menusuk di hati. Jelas saja aku perlu menambah tenaga untuk menahan air mata. Siapa orang yang tidak akan sakit hati bila dikatakan seperti itu di hadapan ayah nya sendiri. Sudahlah, aku cukup berpura-pura innocent, tidak tahu apa-apa, dan cuek. Selentingan kata-kata tajam tadi biarlah jadi angin lalu.
Selanjutnya aku menuju kantor polsek Klaten untuk melakukan tes SIM C. di ruang tes kepalaku ini rasanya berat, tidak bisa konsentrasi, dan perkara di PMI tadi masih berkutan di otakku dengan kuat. Aaarrgghh, enyahlah pikiran buruk ini.
Untuk lolos ke tahap selanjutnya aku harus bisa menjawab soal teory minimal 21 soal. Namun dengan kondisi seperti ini aku hanya bisa menjawab benar 14 soal saja.
GAGAL!
Ujian SIM C pertama gagal dan kepala semakin berat. seribu tanya mengitari sudut-sudut memoriku. Mencoba menemukan probabilitas bahwa aku masih anak mereka. Semakin aku berfikir semakin jauh aku dari kebenaran. Walaupun pada akhirnya Ayah bisa mengusahakan agar aku bisa mendapat SIM C, hal itu tidak membuatku merasa senang. Masih saja, yang di garda depan otakku saat ini hanya satu pertanyaan. "Anak siapa aku?"
Dengan perasaan kalut aku dan ayah pulang ke rumah dan menceritakan kejadian tadi pagi di PMI kepada Ibu. Sambil menampakkan muka sembab aku bertanya pada Ibu,
"Aku anaknya siapa?"
Seperti biasa, sekalipun Ibu suka marah-marah, tapi hanya beliaulah yang paling mengerti caranya membuat aku tenang.
"Kamu loh, mirip sama Ayah sama Ibu, apapun hasilnya kamu tetep anak ibu, bukan anak temuan."
Tahukah kalian bahwa banyak pikiran konyol datang pasca kejadian di PMI. Sempat aku mencurahkan rasa sedihku kepada salah satu sahabat karib. Sumpah konyol banget, kita sempat berencana ke rumah sakit tempat aku dilahirkan dan mencari orang-orang yang juga melahirkan anaknya pada hari yang sama denganku. Bahkan ada ide buat ikut salah satu acara realiti show yang mencari orang hilang semacam "Termewek-mewek". Tapi semua akhirnya diurungkan, karena aku akhirnya memilih ikhlas untuk melupakan masalah golongan darah. Kata sahabatku "Orang tua mu adalah mereka yang membesarkanmu dengan penuh kasih sayang, bukan hanya Ibu yang melahirkanmu."
Ku simpulkan bahwa merekalah orang tua ku. Tak peduli apa golongan darahku dan apa golongan darah mereka. Bagi mereka aku adalah anaknya dan bagiku mereka adalah orang tuaku.
***
Dua tahun berlalu, aku melanjutkan study ke Surabaya. Mengejar mimpi-mimpi lain dibalik deru berat hati meninggalkan Ayah dan Ibu di kampung halaman. Bahagianya bahwa di kampung halaman Ibu telah berhasil mewujudkan cita-citanya membuka warung soto. Dari warung soto inilah, Ibu lancar membiayai kuliahku di surabaya dan akhirnya Ayah serta Ibu bisa mendaftarkan diri sebagai calon jamaah haji :)
Ketika ada waktu kosong 4 hari, aku menyempatkan diri pulang ke Klaten melepas rindu pada keluarga. Sepulang dari kota Ibu menceritakan kisahnya ketika mendaftar jadi calon jamaah haji.
"Dek, waktu Ibu daftar haji kemarin, ada tes kesehatan dan cek golongan darah ternyata golongan darah Ibu A juga. Kayaknya dulu waktu tes pertama hasilnya salah. Sudah dicek ulang tetep A kok dek."
Subhanallah.....,
Ada siraman air membasuh kalbu. Seakan dunia lebih lebar dari biasanya. BAHAGIA. Sekarang tidak ada lagi rasa curiga dan bertanya-tanya dalam hati. Meski selama ini Ibu terutama Ayah ragu terhadap golongan darahku tapi mereka tetap mencitai dan mengasihi aku dengan sepenuh hati. Tanpa mempedulikan embel-embel golongan darahku.
Dari kisah ini aku ingin berbagi kepada kalian semua bahwa "Di dunia ini tidak ada orang tua yang sempurna, tapi mereka selalu berusaha mencintai anak-anaknya dengan cara yang sempurna" walaupun terkadang mereka marah-marah, sibuk dengan pekerjaannya, lupa dengan keadaan kita, tapi percayalah mereka tetap mencintaimu dengan utuh tanpa meminta imbalan. Seperti itulah kasih sayang, ia tulus dan sederhana.
#With love <3
Untuk Bapak sama Mama di Klaten :*
Salam rindu
-Anakmu-
Di sebuah pelatihan dasar mahasiswa pertengahan tahun ini, seorang pemandu pelatihan memutar video tentang cinta ayah terhadap anaknya. Sudah 2 bulan aku tidak bertemu ayah, tentu saja melihat video macam itu air mata menetes deras. Membawa kenangan berlayar kembali ke peristiwa 2 tahun lalu.
Pagi buta, awal September 2010
Hari ini tidak sama seperti hari-hari sebelumnya. Rutinitas bangun tidur, mandi, sarapan, dan berangkat sekolah kali ini berganti dengan persiapan mental. Masih sangat jelas di memoriku terakhir kali aku disuntik karena sakit parah sepulang dari Jakarta. Sekitar 4 atau 5 tahun yang lalu. Dan hari ini aku dipaksa Ayah dan Ibu untuk cek golongan darah di PMI pusat. Memang kata sebagian orang, cek golongan darah itu hanya seperti digigit semut dan hanya butuh 30 detik untuk melupakan rasa sakitnya. Siang ini rencananya aku akan ke kantor polisi sektor Klaten untuk mencari SIM C. Menginjak usiaku yang ke 17 tahun Ayah menjanjikan agar aku segera memperoleh surat izin mengemudi, mengingat aku sering kali kena tilang sepulang sekolah. Berhubung sampai usia 17 tahun kami sekeluarga belum yakin golongan darahku akhirnya sekalian deh mampir ke PMI pusat untuk cek darah.
Dengan surat izin palsu ke sekolah untuk pertama kalinya aku mbolos atas izin orang tua. pukul 8 pagi suara gerang motor Ayah sudah siap di halaman rumah untuk beranjak ke kantor PMI pusat. Sesampainya di sana, Ayah mengajakku pergi menuju ruang pendaftaran. tidak perlu menunggu banyak waktu aku dipanggil untuk cek golongan darah. Hanya butuh 3 menit dan hasilnya keluar. Kata bu dokter "Golongannya A reshus positif"
Jlebb..... berasa ketimpa belati dari atas. Ayah yang duduk disampingkku tercengang. mungkin dalam benaknya "Bagaimana bisa anakku bergolong darah A"
Melihat raut wajah ayah yang pasi terselip rasa takut di sela-sela garis keriputnya. Berharap ada kesalah dalam pengetesan golongan darah tadi. Akhirnya Ayah mulai memecah tanya diantara kita.
"Kok bisa A bu dokter? Saya dan istri golongan darahnya sama-sama O" tanya ayah dengan wajah cemas.
"Ya saya tidak tahu pak, tapi kalau keduanya O tidak mungkin anakknya punya golongan darah A" jawab bu dokter dengan wajah innocent.
Sesaat kurasakan genangan air mata berkumpul di kelopak mata bawah. Rasanya ingin menangis, marah, tidak terima, kecewa, akan tetapi aku harus marah pada siapa? Toh pada kenyataannya aku tidak paham siapa yang salah dalam hal ini. Yang aku tahu aku sudah terlahir dengan keadaan yang seperti ini, dengan segala kekurangan dan kelebihanku. Aku tidak berhak menyalahkan campur tangan Tuhan dalam penciptaanku. Tidak berhak pula menyalahkan kedua orang tua yang sudah susah payah membesarkan aku. Bahkan aku tidak punya hak menyalahkan Bu dokter maupun semua yang berkaitan dengan pengecekan golingan darah ini.
Aku dan Ayah pergi meninggalkan ruang pemeriksaan dengan raut pasi penuh rasa curiga. Sampai di tempat parkir PMI ayah bertemu seoarang kawan lama yang sekarang bekerja di PMI.
"Loh Pak, ada apa kok di sini ?" tanya kawan Ayah sembari menjabat tangan.
"Ini ngecek golongan darah anak. Kok golongan darah anak saya A ya? Padahal saya sama istri O?" tanya Ayah sedikit ragu.
"Wah ya gag bisa itu, gag mungkin pak, kemungkinannya yang salah dari istri sampean atau dari rumah sakit"
Jawaban yang ringan tapi menusuk di hati. Jelas saja aku perlu menambah tenaga untuk menahan air mata. Siapa orang yang tidak akan sakit hati bila dikatakan seperti itu di hadapan ayah nya sendiri. Sudahlah, aku cukup berpura-pura innocent, tidak tahu apa-apa, dan cuek. Selentingan kata-kata tajam tadi biarlah jadi angin lalu.
Selanjutnya aku menuju kantor polsek Klaten untuk melakukan tes SIM C. di ruang tes kepalaku ini rasanya berat, tidak bisa konsentrasi, dan perkara di PMI tadi masih berkutan di otakku dengan kuat. Aaarrgghh, enyahlah pikiran buruk ini.
Untuk lolos ke tahap selanjutnya aku harus bisa menjawab soal teory minimal 21 soal. Namun dengan kondisi seperti ini aku hanya bisa menjawab benar 14 soal saja.
GAGAL!
Ujian SIM C pertama gagal dan kepala semakin berat. seribu tanya mengitari sudut-sudut memoriku. Mencoba menemukan probabilitas bahwa aku masih anak mereka. Semakin aku berfikir semakin jauh aku dari kebenaran. Walaupun pada akhirnya Ayah bisa mengusahakan agar aku bisa mendapat SIM C, hal itu tidak membuatku merasa senang. Masih saja, yang di garda depan otakku saat ini hanya satu pertanyaan. "Anak siapa aku?"
Dengan perasaan kalut aku dan ayah pulang ke rumah dan menceritakan kejadian tadi pagi di PMI kepada Ibu. Sambil menampakkan muka sembab aku bertanya pada Ibu,
"Aku anaknya siapa?"
Seperti biasa, sekalipun Ibu suka marah-marah, tapi hanya beliaulah yang paling mengerti caranya membuat aku tenang.
"Kamu loh, mirip sama Ayah sama Ibu, apapun hasilnya kamu tetep anak ibu, bukan anak temuan."
Tahukah kalian bahwa banyak pikiran konyol datang pasca kejadian di PMI. Sempat aku mencurahkan rasa sedihku kepada salah satu sahabat karib. Sumpah konyol banget, kita sempat berencana ke rumah sakit tempat aku dilahirkan dan mencari orang-orang yang juga melahirkan anaknya pada hari yang sama denganku. Bahkan ada ide buat ikut salah satu acara realiti show yang mencari orang hilang semacam "Termewek-mewek". Tapi semua akhirnya diurungkan, karena aku akhirnya memilih ikhlas untuk melupakan masalah golongan darah. Kata sahabatku "Orang tua mu adalah mereka yang membesarkanmu dengan penuh kasih sayang, bukan hanya Ibu yang melahirkanmu."
Ku simpulkan bahwa merekalah orang tua ku. Tak peduli apa golongan darahku dan apa golongan darah mereka. Bagi mereka aku adalah anaknya dan bagiku mereka adalah orang tuaku.
***
Dua tahun berlalu, aku melanjutkan study ke Surabaya. Mengejar mimpi-mimpi lain dibalik deru berat hati meninggalkan Ayah dan Ibu di kampung halaman. Bahagianya bahwa di kampung halaman Ibu telah berhasil mewujudkan cita-citanya membuka warung soto. Dari warung soto inilah, Ibu lancar membiayai kuliahku di surabaya dan akhirnya Ayah serta Ibu bisa mendaftarkan diri sebagai calon jamaah haji :)
Ketika ada waktu kosong 4 hari, aku menyempatkan diri pulang ke Klaten melepas rindu pada keluarga. Sepulang dari kota Ibu menceritakan kisahnya ketika mendaftar jadi calon jamaah haji.
"Dek, waktu Ibu daftar haji kemarin, ada tes kesehatan dan cek golongan darah ternyata golongan darah Ibu A juga. Kayaknya dulu waktu tes pertama hasilnya salah. Sudah dicek ulang tetep A kok dek."
Subhanallah.....,
Ada siraman air membasuh kalbu. Seakan dunia lebih lebar dari biasanya. BAHAGIA. Sekarang tidak ada lagi rasa curiga dan bertanya-tanya dalam hati. Meski selama ini Ibu terutama Ayah ragu terhadap golongan darahku tapi mereka tetap mencitai dan mengasihi aku dengan sepenuh hati. Tanpa mempedulikan embel-embel golongan darahku.
Dari kisah ini aku ingin berbagi kepada kalian semua bahwa "Di dunia ini tidak ada orang tua yang sempurna, tapi mereka selalu berusaha mencintai anak-anaknya dengan cara yang sempurna" walaupun terkadang mereka marah-marah, sibuk dengan pekerjaannya, lupa dengan keadaan kita, tapi percayalah mereka tetap mencintaimu dengan utuh tanpa meminta imbalan. Seperti itulah kasih sayang, ia tulus dan sederhana.
#With love <3
Untuk Bapak sama Mama di Klaten :*
Salam rindu
-Anakmu-