Dhien
Beberapa kali aku coba-coba ngririm cerpen maupun essay ke redaksi atau beberapa event...
Ada yang komentarnya positif ada jg yang belum lolos :D
Minimal udah dapet nilai tertinggi kedua di kelas untuk nilai ujian praktek bahasa Indonesia.
mau share cerpen yang terakhir aku kirim buat lomba ramadhan dari JMMI ITS.



Nanar di Wajah Anakku

            “Ayah jahat Bu, jahat!” kata-kata itu berputar di otakku untuk kesekian kalinya. Begitu yang selalu Kuncoro ucapkan untuk menghujat ayahnya yang tega meninggalkan kami di saat kebutuhan rumah tangga dan sekolah anak-anak sedang meningkat. Sudah dua bulan suamiku pergi dari rumah. Aku mencoba kesana kemari mencari keberadaannya namun hasilnya nihil. Atasan suamiku juga turut membantuku, mungkin karena Ia tidak kuat hati melihat wajahku yang sayu penuh peluh setelah berkeliling mencari suamiku. Aku masih sanggup untuk menahan ini, sekuat tenaga aku meyakinkan hati bahwa aku adalah istri yang kuat. Akan tetapi tidak dengan Kuncoro, anak keduaku yang paling keras menyalahkan ayahnya atas ketidakselarasan di keluarga ini. Untung aku masih memiliki Aan, anak pertamaku yang kini bekerja di salah satu bank swasta. Jalan pikirannya jauh lebih dewasa daripada aku, ibunya. Sedangkan si bungsu Fadli, usianya masih 8 tahun namun aku merasakan ada derai kekecewan dari sorot matanya yang kosong tiap menatap foto ayahnya.
            Hari ini adalah puasa Ramadhan pertama tanpa hadirnya suamiku. Kehangatan bulan penuh barokah yang tidak sama seperti tahun sebelumnya. Bahkan aku berpura-pura seakan tidak terjadi sesuatu dalam keluarga ini. Tapi aku tidak berniat membohongi anak-anakku, aku hanya menjaga perasaan mereka agar tidak terluka sepertiku.
            “Ya Allah kembalikan suamiku,” secuil doa kecil yang kuminta pada Tuhan. Berjuta rasa yang bergumul dalam batin menyesakan dadaku, menjatuhkan segala kekuatan yang sudah kubangun selama satu bulan ini.
“Aku kuat, kuat, ya Allah.” rasa perih merangkak pada tiap jengkal kulitku, memecah derai air mata yang tak kuasa lagi aku tampung. Tiba-tiba dari belakang Kuncoro memelukku seraya berbisik lirih.
            “Ibu, jangan menangis. Air mata Ibu terlalu berharga untuk Ayah. Kita bisa hidup sendiri tanpa adanya laki-laki biadab tak bertanggung jawab itu!”
            “Nak kau tak pantas mengatakan itu. Bagaimana pun ia tetap ayahmu!” jawabku sembari berbalik dan mengelus kepalanya.
            “Aku benci punya ayah seperti dia. Aku tak peduli sekali pun tidak bisa melihatnya lagi. Apa yang dia perbuat kepada kita sungguh keterlaluan!”
            “Ayah pasti punya alasan kenapa dia pergi,” kataku mencoba menenangkan Kuncoro yang terbakar kebencian.
            “Alasan? Wanita lain? Sudahlah Bu, hentikan membahas laki-laki itu, aku muak!” Kuncoro bergegas pergi mengenyahkan pembicaraan tentang ayahnya.
            Puasa hari kedua, kekacauan terjadi. Suamiku pulang, aku bahagia, benar-benar bahagia melihatnya tapi kebahagian itu patah seketika saat kulihat gadis kecil ia gandeng memasuki rumah. Siapa anak itu? Aku tidak pernah melihatnya. Apa itu anak tiriku? Daguku bergetar menahan tangis, ingin segera aku mendapat kejelasan atas semua yang terjadi. Namun aku urungkan niat itu, biarlah suamiku saja yang akan menjelaskannya setelah Ia siap. Tidak lama setelah Ia beristirahat dan minum kopi, Ia memintaku untuk duduk di sebelahnya.
            “Duduklah di sini!” perintah suamiku sambil menepuk bagian samping kursinya.
            “Iya Yah, apa Ayah mau menjelaskan sesuatu?”
            “Benar, Ayah rasa Ibu tahu apa yang akan Ayah jelaskan.”
            Menatap matanya yang penuh keyakinan membuatku semakin ingin menangis. Apa yang terjadi dengan suami yang dulu aku banggakan? Apa dia benar-benar berniat meninggalkan kami? Menatap cerminan wajahku di kedua bola matanya. Tampak kusut dan hancur. Aku mencoba mencari-cari adakah cinta yang masih tersimpan dari tatapanya? Aku yakin masih ada suamiku, masih, dan jangan sekali pun kau berpikir untuk pergi.
            “Bu…, ini Angle anakku dari Maria, yang berarti dia…”
            “Saudara tiruku?” Bentak Kuncoro yang tiba-tiba datang menyela pembicaraan.
            “Tunggu kuncoro, Ayah bisa jelaskan!” kata suamiku dengan raut wajah kaget.
            “Tidak perlu! Aku benci punya Ayah berhati mesin. Pergi! Kuncoro lebih baik hidup bersama Ibu dari pada bersama Ayah, ibu tiri, apalagi saudara tiri!” teriak Kuncoro sambil menuding keluar pintu.
            “Kun, ini Ayah lakukan karena nenekmu menginginkan cucu perempuan sedangkan Ibumu tidak bisa memberikan keturunan anak perempuan!”
            “Alasan bodoh! PERGI!”
            Teriakan kuncoro yang terakhir membuat Angle menangis dan tanpa berkata apa-apa lagi suamiku pergi. Pergi dengan meninggalkan belati yang menancap di hati kami. SAKIT. Ini adalah rasa paling sakit yang pernah aku rasakan. Kini hanya ada tangis antara aku dan Kuncoro. Bibir kelu, tatapan kosong, dan air mata di batin Kuncoro yang tidak bisa aku hapuskan. Maafkan ibu Nak, Ibu tidak bisa berbuat banyak. Maaf.
            Aan pulang menjemput Fadli dari kursus bahasa Inggris. Mereka berdua bingung melihat kekakuan yang terjadi antara aku dan Kuncoro. Selepas shalat tarawih kami berempat berkumpul di ruang keluarga untuk menjelaskan apa yang terjadi pagi tadi. Namun sama saja, kami masih bisu seribu bahasa, membiarkan televisi menjadi satu-satunya hal yang berisik. Tampak nanar di ketiga wajah anakku. Menungguku mulai mengatakan sepotong kalimat agar cicak di dinding tidak lagi memandang kami curiga. Sayup-sayup seakan kudengar tembok-tembok ini menahan tawa. Mengejek kebodohanku sebagai seorang ibu yang gagal mempertahankan keharmonisan keluarga. Hingga anak-anakku harus menjadi korban dari kesalahanku.
Maka air matalah yang pertama memecah hening di antara kami berempat.
            “Kenapa Ibu menangis?” tanya Aan sembari duduk menjajariku.
            “Ayahmu An, ayahmu punya istri lagi,” jawabku lirih dengan tangis yang semakin menjadi. Aan memelukku mencoba meyakinkan bahwa aku tidak sendiri, bahwa aku masih memiliki ketiga anak yang luar biasa setia di sampingku.
            “Aan sudah tahu sebulan lalu, tapi Aan diam. Aan takut Ibu tidak bisa terima dengan semua keputusan Ayah untuk menikah lagi. Sekarang sudahlah, jangan lagi tangisi Ayah. Ibu masih punya kami.”
            Maka menangislah aku sejadi-jadinya lalu kupeluk erat ketiga anakku. Mendekap mereka agar tak lagi ada yang lepas dari hidupku. Aku tidak peduli jika dinding-dinding ini tetap tertawa menyalahkanku. Karena tidak akan lagi kubiarkan nanar menghiasi wajah anakku.
***
            Sudah satu minggu lewat dari kekacauan awal Ramadhan ini dan keadaan kami sama sekali tidak ada perubahan hingga datang sepucuk surat beratasnamakan Maria.
            Suatu hari aku melihat anak burung yang hidup sendiri karena induknya mati dikalahkan waktu. Kemudian daun-daun yang menguning dan jatuh dari tangkainya karena musim memaksanya jatuh. Lalu aku melihat diriku sendiri, apakah nanti aku akan meninggalkan hal terpenting di hidupku tanpa memberinya perlindungan? Aku mungkin bukan wanita baik, tetapi jika kau berkenan untuk tahu lebih banyak, datanglah ke pasar sore menjelang buka puasa. Kau akan selalu temukan aku di kedai es blewah.
                                                                                                                        Maria

            Terbesit niat untuk mengenyahkan undangan ini, akan tetapi rasa penasaran menggoda hati untuk datang menemuinya. Maka diam-diam hari ini aku memasak lebih awal, mengantisipasi jika nanti aku pulang terlambat. Memasuki pasar sore segerombol orang saling berdesakkan mengantri bubur ayam dan sebelahnya seorang ibu penjaja kue duduk menyangga dagu sambil mengibas-ngibaskan kemoceng mengusir lalat-lalat yang mengicipi kuenya. Aku berlalu dari pemandangan ini dan berjalan menyusuri pasar lebih dalam. Pandanganku berkeliling mencari kedai blewah milik Maria, namun ada banyak stand yang menjual es blewah di sini. Lalu mana yang harus aku tuju?
            Wajah gusarku menarik perhatian beberapa orang yang menatap penuh cibiran. Apa mereka pikir aku sedikit tidak waras karena berdiri di tengah pasar dengan wajah penuh kebingungan? Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dari belakang. Sontak aku menarik satu langkah ke depan dan berbalik arah untuk melihat wajah orang itu. Aku semakin kaget ternyata wanita berkerudung ini disangga oleh dua tongkat panjang di kanan kiri tubuhnya. Celana bagian kanannya digulung mencapai lutut yang tak terlihat. Ia buntung.
            “Mbak mari mampir ke kedai saya.”
            Aku hanya mengangguk mengiyakan ajakannya. Dengan raut muka penuh sesal aku berjalan mengikuti langkah tongkatnya. Betapa terkejutnya aku ketika ia melangkah menuju kedai es blewah tidak jauh dari ujung pasar. Aku berbalik arah berniat kabur darinya tapi wanita itu menahan gerakku.
            “Tunggu! Mampirlah sebentar, setidaknya izinkan aku menyuguhkan buka puasa yang ala kadarnya ini.”  
            Aku bimbang, rayuannya mengusik niatku untuk pergi. Aku tidak bisa mengelak, akhirnya kuputuskan untuk tinggal sejenak di kedai itu hingga adzan maghrib berkumandang.
            “Kau menerima suratku?”
            Pertanyaannya secara tidak langsung menjelaskan bahwa dia adalah Maria. Aku menahan nafas, mencoba merangkai kata untuk menjawab pertanyaannya.
            “Eng…, eng…, kau Maria?” tanyaku dengan terbata.
            “Iya kau benar, tunggu sebentar ya, aku selesaikan dulu pekerjaanku.” Santun ucapannya dan senyum simpulnya yang menawan, membuat semua orang bersimpati. Wajar jika suamiku terpikat walau anggota badannya tidak lengkap.
            Di tengah keramaian orang-orang yang mengantri es blewahnya datang seorang laki-laki yang tiba-tiba memeluk dan mencium keningnya. Sontak seketika itu juga amarahku meledak karena hatiku terkoyak. Mengingat ibadah puasaku hari ini maka aku putuskan untuk pergi dari tempat itu.
            Siapa laki-laki itu? Kenapa mereka mesra sekali? Sejuta pertanyaan menghantam dadaku. Satu per satu laci dalam otak, aku obrak-abrik untuk mencari jawaban atas semua rasa penasaran ini namun sayang hasilnya nihil.
***
            Kejadian sore kemarin mengganggu pikiranku. Seperti itukah wanita idaman suamiku? Wajahnya memang manis tetapi kakinya satu dan dia tampak murahan. Dengan mudah laki-laki yang bukan suaminya mencium dan memeluknya. “Aku jauh lebih baik suamiku!” umpatku dalam hati sepanjang hari. Yah, memang benar Ia mampu memberikan keturunan perempuan yang lama diidam-idamkan mertuaku tapi sayang sekali, cucu perempuan itu harus dibayar mahal oleh ketidaksetiaan menantu barunya. Andai saja mertuaku tahu pasti Ia akan menyesal sudah menolakku dalam keluarga besarnya.
            Malam ini sungguh tidak nyaman, perasaanku kalut, ada keraguan yang merayap dalam hela nafasku, penyesalan yang menarik pelan dari dalam perut dengan ujung kail kecil menuju hulu kerongkongan. Apa ini bagian dari rasa berdosa karena telah berburuk sangka padanya?
“Ya Allah yang Maha Membolak-balikkan hati, tunjukkan padaku jalan-Mu dan tuntunlah suamiku kembali pada kami, amiin.”
            Jika Allah mau mengampuni hambanya, mengapa kita tidak mencoba memafkan orang lain? Maka aku bulatkan tekad untuk kembali menemui Maria.
            Bismillahirrahmannirrahim, dengan menyebut nama Allah aku langkahkan kakiku menuju gelak tawa pasar sore ini. Menyusuri deru tawar menawar antara pembeli dan penjual, menyibak gaduh dari anak-anak kecil yang merengek minta kue. Hidungku mengais-ngais bau manis dari berbagai macam es, mencari bau manis es blewah buatan Maria. Pandanganku beredar mencari kedai es blewah yang kemarin aku temukan tidak jauh dari pedagang opor, tapi kali ini tidak kutemukan. Apa aku salah tempat? Maka kutanyakan keraguanku pada salah satu pedagang kue di pasar.
            “Maaf Bu mengganggu, apa ibu tahu di mana penjual es blewah yang ada di sana?”
            “Owh, Bu Maria yang kakinya buntung satu itu? Dia masuk rumah sakit katanya gagal ginjalnya kumat.”
            “Apa?” aku terkejut setengah mati bagaimana bisa ibu itu mengatakan kata ‘buntung’ dengan wajah innocent, “Dimana Ia di rawat?”
            “Di rumah sakit kota karena hanya di sana yang memiliki alat untuk cuci darah. Anda siapanya ya?”
            “Saya saudaranya.” jawabku mengelak.
            “Saudara dari suami barunya itu ya?”
            “Suami baru? Siapa?” mataku melotot penuh rasa tanya.
            “Kau tidak tahu? Dua bulan lalu Maria kecelakaan dan harus diamputasi kakinya. Padahal ia punya penyakit gagal ginjal dan disfungsi otak, aku sendiri tidak paham bagaimana akhirnya orang yang menabrak itu malah menikahinya.”
            Serasa ada gunung yang jatuh menimpa kepalaku. Bagaimana bisa aku tidak tahu kejadian yang dialami suamiku hingga akhirnya Ia menikahi Maria. Aku berlari tergopoh-gopoh mencari taksi menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan aku membayangkan suamiku berada di sampingnya dengan wajah harap-harap cemas. Terakhir kali aku melihat suamiku cemas ketika aku melahirkan si bungsu Fadli. Kini bagaimana bisa aku melihat suamiku mencemaskan wanita lain?
            Tiba di rumah sakit aku menuju meja resepsionis mecari tahu kamar inap Maria. Setelah mendapat informasi aku berlari menuju kamar Maria dan mendapati suamiku duduk di depan kamar dengan wajah lusuh, kantung mata hitam seperti panda dan dasi yang berantakan. Semua itu menunjukan bahwa dia sudah menunggu Maria sepanjang malam. Perlahan kudekati Ia dengan langkah tenang agar tidak membangunkannya. Dari luar kamar aku lihat Maria terlelap dengan selang infuse yang masih menggantung dan selang oksigen kini menjadi salah satu tumpuan hidupnya. Banyak kabel yang menempel di tubuh Maria, aku sendiri tidak yakin apa fungsi kabel-kabel itu, tapi yang jelas ia sungguh lemah tak berdaya.
            “Bagaimana kau bisa ada di sini?” tanya seseorang sambil menepuk bahuku dari belakang.
            “Mas Didi? Aku…, aku sedang…,” jawabku terbata karena bingung.
            “Kaupasti sudah tahu soal Maria? Sudah lama Maria ingin memberitahu ini namun aku larang karena aku belum siap, maafkan aku!”
            Suamiku menangis. Sebagai seorang istri aku tidak bisa berbuat apa-apa dan baru kali ini aku merasa canggung bersikap di hadapan suamiku. Seberapa cintakah Ia pada Maria hingga Ia menangis? Atau begitu besar rasa takutnya kehilangan Maria?
            “Sebentar lagi maghrib, ayo ke kantin untuk buka puasa, nanti akan kuceritakan semuanya.” pinta suamiku dengan pandangan sayu.
            Selepas buka puasa aku dan suamiku kembali ke kamar Maria menunaikan shalat maghrib jamaah. Rasanya sudah lama sekali kami tidak menjalankan shalat jamaah bersama, bahkan aku lupa kapan terakhir kami shalat bersama. Aku ingat janji awal sebelum menikah bahwa nanti kami akan membangun keluarga kecil yang sederhana akan kebahagiaan, mengajari anak-anak kami rasa bersyukur kepada Sang Pencipta namun sayang kami lupa pada janji indah itu. Selesai shalat aku menangis dan mencium tangan suamiku. Bau wangi tangannya tidak berubah meski Ia sudah dimiliki wanita lain. Suamiku mengelus kepalaku dan menciumnya sambil menahan tangis.
            “Maafkan aku, aku gagal menjadi seorang suami yang adil untukmu. Aku gagal menjadi ayah yang baik untuk anak-anak kita, tapi yakinlah bahwa aku memiliki alasan selama kepergianku dua bulan ini.”
            “Jelaskan padaku kenapa kau perlakukan aku dan anak-anak seperti ini?” tanyaku dengan tersedak tangis.
            “Dua bulan lalu pukul sebelas malam selepas lembur aku pulang lewat jalur alternatif. Niatku agar lebih cepat sampai rumah karena jalannya sepi. Tanpa sengaja aku yang saat itu mengantuk menabrak seorang wanita dengan gerobak esnya. Aku sangat takut, benar-benar takut maka dari itu aku bawa Ia ke rumah sakit dan betapa terpukulnya aku mendengar vonis dokter bahwa kakinya harus diamputasi karena hancur terlindas ban mobilku,”  suamiku menangis tersedu-sedu, Ia mengambil nafas panjang sebelum memulai lagi ceritanya.
            “Hhhfftt…, tanggung jawabku sebagai seorang lelaki semakin ditampar mengetahui bahwa Ia janda anak satu yang sedang berjuang melawan penyakitnya. Yang Ia miliki sekarang tinggal seorang kakak laki-laki dan anak perempuan.”
            “Berhenti! Anak perempuan itu bukan anakmu?” tanyaku setengah kaget.
            “Iya Angel bukan darah dagingku, Ia anak Maria dengan mendiang suami pertamanya. Maria mengalami disfungsi otak dan ginjalnya sudah tidak berfungsi normal, aku tidak tahu anggota badan mana lagi yang akan kehilangan kesadarannya? Bahkan akhir-akhir ini Ia sering mengompol dan kebingungan. Setelah kecelakaan itu aku justru menambah bebannya karena Ia harus kehilangan satu kaki. Maria tidak pernah marah padaku, Ia menangis bukan karena kehilangan kakinya tapi karena Ia takut kehilangan Angel. Maria takut Angel tidak akan merasakan hidup dalam keluarga utuh. Maka dari itu aku putuskan untuk menikahinya. Akan tetapi biaya pengobatan Maria semakin mahal dan kesadaran semakin menurun. Itu yang menyebabkan aku tidak pulang untuk merawat Maria. Maafkan aku, aku tidak berani mengatakan ini padamu.”
            “Sudahlah suamiku berhenti menangis, aku tidak akan marah padamu tapi kenapa kau takut menceritakan ini padaku sejak awal?”
            “Aku tahu kau sangat takut poligami maka dari itu aku menyembunyikan Maria. Sedangkan Maria tidak ingin menyakitimu lebih lama dan ingin menjelaskan bahwa ini juga demi akidah kita. Jangan sampai aku menjadi zina karena menjaga wanita yang bukan muhrimku.”
            Semua menjadi terang sekarang, aku yang kurang peka sebagai seorang istri. Aku menyalahi agamaku, melukai suamiku dan berprasangka buruk pada wanita sholekhah. Kini tinggallah kami berdua bercengkrama dalam duka, mengusik malam yang membiru dalam naungan cinta Illahi. Dari balik pintu kudengar samar-samar suara tangisan seseorang. Aku beranjak dari dudukku beralih melihat sosok yang meringkuk gusar.
            “Kuncoro? Masyaallah..,”
            Aku menangis memeluk Kuncoro, anakku sayang, anakku yang keras hati, kini Ia lemah karena terluka terlalu dalam akibat kesalahanku. Maafkan Ibumu yang berdosa ini.
            “Maafkan Kuncoro yang keras kepala ini Bu, maaf aku sudah menyusahkan Ibu.” Kata Kuncoro seraya memelukku dengan erat. Ia mengendorkan pelukkannya dan melihat ke arah Ayahnya.
            “Maafkan Kuncoro yang telah berburuk sangka pada Ayah,”
            “Tidak Nak, Ayah yang salah, Ayah tidak adil pada kalian.”
            Kuncoro berlari memeluk Ayahnya, ada rasa lega luar biasa menyelubungi dadaku. Di tengah derai air mata kami Maria terbangun.
            “Bolehkah aku juga memeluk kalian bukan sebagai orang asing tapi sebagai keluarga?” pinta Maria dengan desau yang masih lemah.
            “Tentu saja Maria.” serentak kami memeluk Maria sebagai tanda penerimaannya sebagai anggota baru keluarga kami.
            Hari ini adalah shalat tarawih pertamaku lengkap bersama suami, Kuncoro, dan Maria. Meski sambil terbaring Maria dengan kitmad menjadi makmum dan mengiringi ‘amin’ di setiap doa kami. Aku siap lahir batin menjaga Angle selayaknya anak kandungku, aku rela menghabiskan sisa ramadhan ini di rumah sakit merawat Maria. Kuncoro sudah luluh untuk menerima Maria dan Angle, aku yakin pasti Aan dan Fadli juga ikhlas menerimnya.
            Ya Allah terima kasih atas ramadhan yang luar biasa indah ini, tidak hanya untukku tapi untuk keluarga baruku juga. Aku tidak tahu berapa lama Maria akan bertahan melawan penyakitnya, namun yang selalu aku ingat adalah pesan Maria di malam ramadhan ke 20.
            “Jagalah keempat anakmu dengan baik karena merekalah mujahis dan mujahidah kita. Jadilah istri sholekhah yang akan menopang suamimu saat Ia lemah. Jadilah guru terhebat untuk Aan, Kuncoro, Fadli dan Angle karena engkaulah sumur ilmu pertama mereka. Aku yakin kau pasti bisa!”
            Mulai saat ini aku tidak perlu malu pada dinding-dinding yang mencibir angkuh atas kesalahanku kala silam. Aku semakin yakin bahwa Allah tidak akan menguji manusia melewati batas kemampuannya. Fainnama’al ‘usri yusra, di balik kesulitan itu ada kemudahan.
            Dalam hati aku bergumam lirih, “Terimakasih anak-anakku, suamiku, Maria, kalian adalah alasan mengapa aku bisa sekuat ini. Kalian mengajarkan padaku arti berbagi kasih sayang dan keikhlasan. Maka tetaplah di sini, di hatiku, baik ramadhan tahun ini maupun ramadhan tahun-tahun berikutnya.”



2 Responses
  1. Unknown Says:

    bagus banget cerpennya :)



Post a Comment