Mumpung lagi keranjingan nge-blog
Mau share lagi deh cerpen jaman-jaman ababil dulu....
Mau share lagi deh cerpen jaman-jaman ababil dulu....
Maklum ya kalo tata bahasanya masih amburadul, diksi nya masih ngaco,
yang penting ini salah satu hasil pembelajaran menulis semasa SMA ^_^
Menggenggam Angin
Yang keberapa ini? Kesepuluhkah? Ah, aku tak mau menghitungnya. Dan harus
butuh berapa note lagi untuk kau memahaminya? Aku selalu merasa menjadi orang
bodoh yang tiap hari terpaku pada layar komputer, menunggu kau aktifkan
facebook hingga aku bisa mengikuti setiap recent activity mu. Konyol memang.
Tapi apa yang bisa aku perbuat selain itu? Berbicara dengan mu? Bagaimana
mungkin aku bisa melakukan itu? Bahkan untuk menyentuh ujung kulitmu saja aku
tak berani. Maka bacalah! Kumpulan note ini akan bernyanyi tentang rasa ku
terhadapmu.
Hampir 2 tahun di SMA aku tak
pernah mengenalnya. Melihat ujung rambutnya saja tidak. Akan tetapi tugas
sekolah mempertemukan kami di sebuah kesempatan. Youth Geography Conference.
Konferensi geografi tingkat SMA yang ku pikir bakal membosankan bagi orang IPA
seperti ku. Aku sendiri tak habis pikir mengapa guru-guru sekolah ku ini justru
menunjuk kami anak IPA untuk mewakili sekolah? Apa mereka sudah kehabisan stok
anak IPS yang menyukai geografi? Yah…., mungkin saja begitu, aku tidak pernah
menyukai pelajaran geografi bahkan tidak peduli pada lingkungan selama di SMA.
Pembelajaran yang membosankan, dan semakin membosankan bila Bu guru sudah
mengeluarkan kipasnya lalu berceloteh panjang lebar tentang Jepang, Singapura,
Amerika dan Negara adigdaya lain. Aku lebih suka menunggu nenek-nenek jompo
makan tanpa gigi palsunya daripada harus menunggu pelajaran geografi selesai. Cita-cita
ku saat pelajaran geografi, yang pertama, aku ingin membawa setumpuk kapas
untuk kujejalkan di telingaku. Kedua, akan ku pakai setoples kacang untuk melempari
papan tulis agar kelas menjadi gaduh. Ketiga, akan kugunakan berlembar-lembar
kertas untuk membuat pesawat dan akan ku terbangkan di atas kepala teman-teman.
Akan tetapi sayangnya semua itu tidak terwujud.
Aku merasa berat hati meninggalkan sekolah demi 2 hari konferensi di
Semarang sebab acara ini berlangsung saat tes kenaikan kelas. Seumur hidup aku
tak pernah sekalipun mengikuti tes susulan, maka jujur aku paranoid kalau harus
tes susulan sendiri. Rasa sebalku semakin menjadi ketika aku tahu dinas kota tidak mau mengantar
kami ke lokasi. Aht, apa-apaan ini?! Sudah paksa kami ikut konferensi, sekarang
transportasi kami ditelantarkan? Rasanya ingin ku hujat kepala sekolah dan
kepala dinas yang memaksa kami mengikuti konferensi dengan dalih, “Acara ini
jauh lebih penting daripada sekolah kalian!”
Apa??? Ratusan tanda tanya
berputar di otakku. Dengan dasar apa mereka mengatakan itu? Apa mereka bisa
menjamin dengan ikut konferensi nilai rapor kami bagus? Apa dengan ikut
konferensi kami lulus ujian nasional? Kedua tanganku mengepal keras serasa
panas di tubuhku menguap, mungkin lima
menit lagi ubun-ubunku bisa dijadikan sauna dadakan. Aku benar-benar ingin
menghardik acara ini atau setidaknya kalau terpaksa aku pergi akan ku bakar
sedikit bagian ruang kepala sekolah agar tes semester bisa diundur.
“Ya sudah, Pak Heri saja ya yang nganterin kami ke Semarang . Mau kan Pak?” ujar seseorang dari balik
punggungku. Suara itu seketika menusuk jantungku. Aku merasa ada ulat yang
merayap di punggung kemudian turun dan mengelitik pinggangku. Tanpa sadar
nafasku terhenti sesaat, ada sesak yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku
memutar badan 180 derajat dan langsung memakukan pandangan tepat di wajah orang
ini. Mataku tak berhenti memperhatikan wajahnya, wajah asing yang sekejap
merobohkan kekakuanku. Aku ingin bergerak atau menampar pipiku untuk merubah
posisi yang mematung ini tapi kenapa rasanya sulit, berat, dan aku enggan
melepaskan tatapannya. Kau…, siapa kau?
Tanpa mempedulikan tubuhku yang masih mematung kaku dia berjalan perlahan
menuju gerombolan petinggi sekolah yang tadinya ingin ku bakar kantor mereka.
Aku mencium bau tubuhnya yang menghentikan nafasku untuk kedua kalinya. Wanginya
langsung menyengat tiap-tiap sudut hatiku, menampar ketololanku yang terpaku
konyol di hadapan kawan-kawan. Seluruh tubuhku bergetar ringan dan aku bingung kenapa
ini? Dia memunculkan emosi yang ingin ku ulangi lagi, lagi dan lagi. Dari
pembicaraan mereka aku tahu dialah partner kerjaku untuk konferensi besok.
Tanpa aku sadari seuntai senyum tipis terurai di wajahku. Dan aku mulai
menyukai keadaan ini. Doa ku saat ini “Ya Allah, aku rela nggak ikut semesteran
1 minggu demi konferensi ini. Amin.”
Bibirku terkatup pilu untuk berkata-kata. Ingin ku keluarkan secuil
kalimat atau sekedar kata “Hay” untuk menyapanya namun tak bisa. Rasa kelu
untuk memulai pembicaraan denganmu membuatku merasa tak berguna. Hanya
segelintir harap cemas di benak akankah nanti kau memulai pembicaraan dengan menyapa
atau menyakan siapa namaku? Beberapa detik sekali ku lirik tubuh lelaki yang
duduk di pojok belakang mobil sambil memandang ke luar jendela. Selama
perjalanan waktuku habis untuk berbincang tentang konferensi ini dengan partner
kerjaku yang lain, Tya. Setidaknya wanita baik di sampingku ini jauh lebih
hangat daripada lelaki es yang sudah membiarkanku terlihat konyol karena
kehadirannya. Dan berbicara dengan Tya membantuku untuk sedikit melupakan Andy,
begitulah nama yang tertera di bagian kanan atas bajunya.
Sebuah hotel berbintang tiga menjadi penginapan sekaligus lokasi konferensi
kami. Setelah semua barang bawaan selesai diturunkan kami menuju resepsionis
untuk antri check in. Huufft…, ini sama membosankankannya dengan menunggu
pelajaran geografi selesai. Lelah dan peluh perlahan merangkul tubuhku, haus
yang mencekik kerongkonganku mulai menyiksa. Di tengah rasa penat Andy duduk
tepat di kursi sebelahku.
“Hey, aku Andy. Kamu temennya Ari kan ?”
Ucap Andy sambil menawarkan tangannya untuk berjabat.
Pertanyaannya membuatku hampir kehilangan sadar. Cukup lama aku bengong
membiarkan tangannya kosong lama menunggu balas jabatku. Kalau saja Tya tidak
menepuk bahuku mungkin aku bisa membiarkan Andy mati gaya karena bibirku yang tak kunjung
bersuara.
“Aku Denish. Iya temennya Ari, kok tahu sih? Aku sendiri nggak pernah
lihat kamu?” jawabku dengan suara selembut mungkin untuk memberi image wanita
kalem di matanya walau sebenarnya aku jauh lebih brangasan daripada singa
lapar.
“Wah jahat masa nggak kenal aku? Temen kostnya Ari.”
“Owh…, maaf deh nggak tahu hehe,” Senyumku terurai lebar, bahagia
mengetahui dirinya teman baik sahabatku sendiri. Setidaknya aku memiliki kotak
rahasia yang efektif untuk mengorek pribadinya yang rumit. Semoga saja ini tak
begitu rumit untuk menciptakan rasa yang sama antara dia dan aku. Perbicangan
singkat itu membawa sedikit kemajuan karena kami bisa bertukar nomer HP.
Harapanku semoga saja nanti ia rajin menghubungiku walau hanya sekedar sms tak
penting.
Pukul 4 sore, Andy sudah ceck in, di kamar 420 bersama 2 anak dari
pekalongan. Sedangkan aku, Tya, dan salah seorang teman baru dari Solo bernama
Virna, terlantar di depan kamar 708 gara-gara kunci kamar hilang terbawa
penghuni sebelum kami. Duduk lesehan di depan kamar hotel membuat kami persis
seperti gelandangan nyasar di tempat mewah. Sama sekali tidak lucu dan aku
merasa benar-benar sial, sudah kunci tak dapat, petugas hotel yang lambat, dan
sekarang aku merasa asma ku kumat. Oh God, please jangan bengek di sini! Aku
lupa bawa obat.
Aku mencoba mengabaikan sesak yang menghimpit dadaku. Pura-pura sehat dan
seakan tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi keadaan tidak berkata demikian, badanku
mulai drop. Namun Ada yang sedikit mengobati. Pukul 7 malam sms dari Andy menggetarkan
HP ku.
“Bosen nih di kamar. Jln2 yux!”
Tanpa menunggu sedetik pun terbuang langsung ku balas smsnya, “Tapi Tya lagi
belajar bareng temennya, masa cuma berdua?”
Semenit berlalu tak juga masuk balasannya dan tett… tett… bel kamar
berbunyi, aku pikir petugas hotel yang mengantar snack malam, tapi ternyata itu
Andy. Aku tersentak kaget melihat badannya yang tegap berhadapan langsung
denganku dan baru aku sadari ternyata aku tak lebih tinggi daripada dagunya. Degup
jantung yang lebih cepat dari biasanya membuat sesak nafas ini semakin
menyakitkan, namun tak akan ku biarkan sakit menjadi duri yang membunuh
kesempatan baik ini. Untung saja Tya sedang sibuk belajar dengan kawannya
mempelajari materi konferensi besok, jadi aku bisa jalan berdua dengan Andy.
Lingkungan seputar hotel menjadi tujuan kami berkeliling. Karena suatu hal Andy
menyuruhku menunggu di dekat kamarnya, dan aku hanya menurut saja.
Di dekat kamar Andy ada cermin besar dengan bingkai silver mewah.
Sementara Andy sedang pergi, ku sempatkan diri bercermin sejenak dan membenahi
rambutku yang tak karuan. Malam ini dinginnya cukup menusuk, melukai ujung
ujung saraf kulitku yang tak tahan dingin. Menahan paru-paruku yang menjerit
“Please…, kami butuh oksigen!” arrgh…, I need blanket. Ku tengok sedikit bagian
luar jendela yang terletak tepat di samping cermin, mencoba mencari-cari satu
saja bintang yang mungkin bisa menghangatkan pandanganku. Dari belakang Andy
datang dan langsung menjajariku dengan posisi menghadap keluar jendela.
“Kamu sesak nafas ya?” ucap andy tanpa memperhatikanku sebagai lawan
bicaranya.
“Iya,” jawabku singkat sambil melihat wajahnya yang tersenyum menatap
suasana malam kota Semarang .
“Hmmm…, enak banget ya di sini.”
“Iya An, comfortable banget. Eht di sana
ruang makan ya? Temen-temen lain sudah pada makan, kita makan juga yuk laper.”
Aku tersenyum manis menghadap wajahnya yang juga memandangku dengan binar yang
berbeda dari sebelumnya.
“Ok,”
Wajahnya yang tersenyum hangat membuatku lupa kalau aku sedang sakit.
Caranya bicara menjadi selimut terhangat yang pernah ada. Dan aku tahu
sekarang, bahwa aku tak perlu obat asma saat aku bengek. Aku tak perlu selimut
saat kulitku tersakiti oleh dinginnya malam. Dan aku tak perlu sendiri untuk
menikmati suasana jendela ini. Karena yang aku butuhkan hanya satu. Bersamamu.
Esok pagi pukul 9 konferensi dimulai. Perdebatan antar ahli geografi
bertubi-tubi saling menghantam. Mulai dari pembicaraan tentang anomali angin,
vulkanologi, awan, efek rumah kaca dan pembelajaran geografi yang tak menarik
minat siswa, semuanya tumpah di sini. Tapi ada orang yang paling kukagumi,
pernyataan Andy. Ia berkata, “Bagaimana mungkin pemerintah membiarkan
kesenjangan pendidikan terjadi untuk mapel geografi. Di SMA geografi masuk
dalam jurusan IPS padahal diperguruan tinggi geografi masuk dalam jurusan IPA.
Jelas anak IPS hanya dapat memasuki jurusan geografi di perguruan tinggi bila
mereka bisa mengerjakan soal fisika, kimia yang sejatinya tak pernah mereka
pelajari selama 2 tahun. Sedangkan anak IPA yang masuk jurusan geografi di
perguruan tinggi tidak memiliki dasar ilmu cukup untuk mengembangkan geografi
itu sendiri sebagai ilmu terapan dan ilmu murni. Geografi adalah ilmu istimewa
sebagai jembatan IPA dan IPS maka perhatian dari pemerintah perlu ditingkatkan
dalam menata ulang kurikulum pendidikan SMA.”
Aku tak pernah memikirkan geografi sampai sejauh itu dan Andy membukakan
mataku bahwa geografi lebih baik daripada menunggu nenek jompo makan tanpa gigi
palsunya. Semua berlalu begitu cepat, setelah konferensi ini selesai aku tetap
masih bisa kontak dengan Andy karena kami harus mengikuti tes semester susulan.
Facebooknya juga menjadi tempatku melepas rasa rindu karena kami jarang bicara.
Aku merasa jauh lebih bahagia dengan hidupku yang sekarang. Andy telah menjadi
obat mujarab untuk menutupi luka hati yang terakhir ditorehkan oleh Edo . Akan tetapi banyak diantara teman-temanku yang
mencibir rasaku terhadap Andy. Mereka menyalahkanku yang cepat mencari penutup
luka setelah kepergian Edo yang menyakitkan.
Andy sendiri orang yang sulit dimengerti, kadang hangat, kadang beku. Sedangkan
aku mulai goyah untuk menunggunya.
Di tengah rasa tak nyaman ini Bian datang menawarkan hatinya yang terbuka
lebar untukku. Aku tak mengerti bagaimana dia bisa tahu aku menunggu Andy yang
tak kunjung memberi isyarat tentang perasaannya terhadapku.
“Den, sekalipun kamu nunggu Andy, tapi aku nggak akan nyerah untuk
meyakinkanmu kalau aku lebih baik dari dia. Kasih kesempatan aku buat nunjukin
ke kamu kalau perasaan ini tulus.” kata Bian mencoba meyakinkan aku.
“Bi, aku menghargai perasaanmu, dan jujur kamu baik banget sama aku. Tapi
perasaanku ke Andy juga tulus.” Aku sedikit berat hati mengatakannya karena aku
takut cara ini justru membuat Bian tak mau menganggapku lagi sebagai teman.
“Tunggu aja aku buktiin ke kamu kalau aku serius mau nunggu kamu.”
Aku sempat termakan kata-kata Bian tapi perasaanku terhadap Andy jauh
lebih besar. Di saat yang hampir bersamaan Deka juga mulai sms nggak penting
dan obral omongan. Akan tetapi aku jauh tidak akan termakan kata-kata playboy
cap duren busuk
ini. Dia menganggapku mudah ia tumbangkan seperti wanita lain. Kata-katanya
yang menganggapku gampangan, semakin membuatku malas menanggapinya. Akhirnya ku
buat note facebook pertamaku.
Es, Api, Angin, dan Aku
Aku tak tahu
bagaimana caranya menggambarkan kalian.
ES :: Dataran dingin yang begitu ingin ku
sentuh, namun sulit. Jauh & begitu dalam dirimu untuk ku raih. Tapi semua
itu membuatku semakin ingin mengenalmu. Menyentuh hatimu. Rasa optimis dan
ambisiusmu untuk mencapai apa yang kau mau begitu kuat. Hingga belum pernah ku
tahu ada wanita yang berhasil menaklukan sikapmu. DINGIN! Aku benci itu. Sikap
apatismu seperti jarum es yang menusuk pada tiap jengkal kulitku. SAKIT! Itu yang
ku rasa. Namun terkadang begitu ingin aku membeku bersamamu. Hingga tak ada
celah yang melepaskan hatiku dan hatimu.
API :: API
datang, tak lama setelah aku hampir putus asa untuk menaklukanmu. Ia tak
membiarkan aku merasa kedinginan atas semua caramu menghindariku. Ia patahkan
semua jarum es yg tertancap di tubuhku. LEBIH BAIK. yaaaahh..., aku merasa
lebih baik sekarang. Ada
rasa hangat yang sudah lama tak melilit perasaanku. Akan tetapi..., apa itu
bisa menggoyahkan hatiku untuk bertahan menunggumu ES?
ANGIN :: Ia tiba-tiba datang mencoba
menggoyahkan ku diantara ES dan API. Tapi kau seenaknya sendiri, pergi kesana
kemari. Kata-katamu, sikapmu, jauh lebih menyakitiku daripada ES. Kau anggap
aku mudah untuk kau tumbangkan seperti pohon-pohon di tepi jalan. Apa kau pikir
aku mudah gugur seperti daun-daun yang kau ajak pergi dari tangkainya? TIDAK!!!
aku tak semudah itu.
AKU :: Aku hanya sekumpulan kata-kata yang
entah berharga atau tidak di telingamu.
Aku hanya sebuah
bayang-bayang yang entah pernah kau perhatikan atau tidak.
Dan aku,
hanyalah sebuah kebimbangan untuk memilih bertahan atau pergi?
Aku bingung mengapa noteku yang ini
banyak disukai teman-teman. Apa mereka merasakan hal yang sama denganku setelah
mereka mencibir kukuhnya pendirianku untuk bertahan menunggu Andy. Tapi sayang
Andy jarang memberi jempol di status atau pun noteku. Konferensi bulan lalu
membawa Andy untuk melaju ke kongres nasional global warming di Padang . Maklumlah,
pernyataannya tentang geografi luar biasa. Aku turut senang melihat Andy senang,
namun di satu sisi aku merasa sedih karena aku tak akan bisa melihatnya selama
1 bulan.
Baru seminggu ia pergi aku sudah
benar-benar merindukannya. Aku ingin dia memberi isyarat rasa apa yang ia punya
untukku. Cinta atau bukan. Maka ku buat note ke 2.
Mengapa Tak kau Ucap Sekarang
Kesekian kalinya
untuk sebuah kebingungan. Aku takut membuat note bodoh lagi. Hingga orang-orang
akan berkomentar acuh setelah membacanya. Sebenarnya tak ingin ku tulis semua
ini, tapi sebuah lagu membuatku bergetar ingin menangis. Mengingatkan ku pada
waktu di mana orang-orang tak banyak berkomentar tentang kita. Tak ada mereka
yang memandang sinis terhadap bahasa tubuh kita. Tak ada mereka yang mengejek
rasa kagum yang lama-lama tumbuh menjadi getar rindu. Hanya kau dan aku yang
paham apa yang terjadi. Tapi kau selalu diam, sedangkan orang-orang itu selalu
memberiku pukulan keras yang akhirnya memaksaku untuk jatuh dan menyerah.
Mereka TAK BERHAK menghujat prasaan yg muncul tanpa rencana ini.
Mereka TAK BERHAK menghujat prasaan yg muncul tanpa rencana ini.
Aq tak berharap
lebih untuk saat ini. Sebab aku tahu cita-citaku jauh lebih berharga daripada
dirimu. Yang aku ingin hanya 1. Mendengar kejujuran dari mulutmu. Jika aku bisa
kembali berada di hadapan jendela itu dengan mu, maka aku akan berkata.
*bila sang cinta tumbuh di hati kita mengapa
tak kau ucap sekarang?
Note ini tidak aku publish. Aku lebih memilih skip note ini karena aku tak ingin
banyak orang yang membacanya. Terutama Edo, aku tak mau dia membaca apalagi
sampai berkomentar di noteku. Tak lama kawan-kawanku sms dan memintaku untuk
menghapus note ini. Mereka merasa aku terlalu blak-blakan dan tidak etis.
Terserahlah apa kata mereka aku tak peduli. Beberapa jam setelah itu ku buka
facebook dan kulihat ia komentari note ku.
“Aku ditag dumz, hehe,”
Tanpa pikir panjang ku tag noteku ke Andy. Ya Ampun Tuhan aku
hampir pingsan, jujur aku paranoid begitu ia komentar minta ditag. Biarpun aku terlalu jujur dengan
membuat note ini tapi untuk apa pula dia komentar di note yang aku skip? Tak
lama berselang, Lia salah satu kotak rahasiaku selain Ari dan Aries berkata,
“Den, buka facebook sekarang. Cepet,
lihat statusnya Es!”
“Emang apa sih?”
“Jangan banyak tanya, baca aja sendiri.”
Aku tersentak kaget, statusnya “Aku
Mencintaimu” tapi aku terlambat. Statusnya sudah tertumpuk dengan status baru. Awalnya
aku merasa sedikit GR dengan status Andy, karena status ini dibuat tidak lama
setelah dia minta ditag noteku. Namun
Aries berkata lain.
“Gimana kalau seandainya status itu
buat orang lain? Nggak menutup kemungkinan kan dia sudah lama suka sama cewek lain?
Atau dia ketemu cewek cantik di Padang ?”
“Iya ya, gimana kalau itu bukan buat
aku?” aku tertegun mendengarnya. Kata-kata Aries berhasil menumbangkan harapku
dalam sekejap. Bagaimana pun kata-kata Aries ada benarnya. Lebih baik tidak
berpikir bahwa status itu untukku, takutnya aku akan jatuh dan patah dengan
rasa sakit yang luar biasa kalau aku menemukan wanita lain yang jadi sasaran
statusnya. Tiba-tiba aku merasa jadi orang bodoh yang terlalu berharap lebih
untuk sebuah rasa berharga yang sulit untuk digapai oleh orang sepertiku.
Konyol! Ini adalah pertama kali aku terlalu blak-blakan mengungkapkan
perasaanku terhadap lelaki. Akan tetapi entah karena kejujuran, kecerobohan,
atau ketololanku, hingga aku takut dan merasa menyesal telah membuat note itu. Mungkin
ada cara lain yang lebih baik dan lebih indah untuk menyiratkan semua yang ada.
Mungkin suatu saat bisa kubuat seratus bangau kertas yang tiap-tiap bagiannya
tertulis doa untukmu atau kubuat seratus puisi dengan kata-kata yang sekiranya
orang akan berpikir "aht gag penting banget sih!" atau aku hanya
diam? Dan berharap suatu saat aku bisa menjadi samudra yang menjadi tempatmu
terakhir bermuara. Tapi mungkinkah?
Maka ku buat
note lagi “Kali Ketiga Untuk Kebuntuan”
Aku benci
mengakui kecerobohan atau kejujuran ku dalam menulis note. Lama sudah tak
kubuat tulisan dengan puluhan simile berbau cinta. Sebab paradigma mereka penuh
cibiran karena tulisan-tulisan ini justru menjadi bukti kebodohanku yang tak
bisa berbuat banyak di hadapan mu.
Apa kau membacanya? Tak apa
Apa kau membacanya? Tak apa
Tapi mungkin
semua akan menjauhkanmu dari ku. Benarkah?
Seandainya bisa
ku minta bantuan pada bulan, ku ingin ia mengatakan,
*Bersikaplah biasa seakan kau tak pernah
tahu isi catatan ku
atau ku minta
bantuan pada matahari untuk mengatakan
*Aku memang mengagumimu, tapi semua tak
harus jadi satu. Karena aku tahu ini belum saatnya.
dan.... bantuan
dari angin, supaya ia berhembus dan berbisik lirih di telingamu
*Sama kah perasaanmu dengan ku?
Sama seperti
catatanku di awal. Keinginanku hanya 1. Mengetahui perasaan hatimu kepadaku.
Hanya itu. TAK LEBIH.
Perasaan
yang berkecamuk ini membuatku drop. Untung aku mempunyai Ari, Lia, dan Aries
yang selalu ada saat aku butuh bahu untuk bersandar dan selalu menyediakan jari
mereka untuk menyeka air mataku. Seandainya Tuhan tidak menghadirkan mereka di
hidupku entahlah aku masih mampu bertahan atau tidak menunggu Andy.
“Tenang Den, udah kelas 3 loh.
Jangan terlalu dipikir nanti kamu sakit lagi!” kata-kata Ari selalu bisa
menguatkan hatiku saat-saat sedih seperti ini. Aku berharap Andy segera pulang
dan bisa memberi kepastian tentang perasaannya. Entah suka atau tidak denganku,
aku ikhlas menerimanya. Aku tidak akan memaksakan dia harus merasakan hal yang
sama denganku.
Aku melihat recent activity mu dan
kudapati kau menanggapi wall gadis lain sedangkan wallku tak kau balas. Sedih
dan itu menguatkan pernyataan Aries tentang sasaran statusmu.
“Andy bukalah Fb mu, dan coba baca
noteku yang ini!” Aku bergumam lirih di depan layar komputer berharap ia akan
baca note terbaruku.
Porcelain
Sudah ini yang keempat untuk note bodoh. Ku hadapi layar note
bermenit-menit dan hanya kosong yang kudapati. Pikirku buntu untuk menjelaskn
apa yang hatiku mau. Aku tertegun bisu mengetahui hal yang tak ingin ku yakini
bahwa itu nyata, akhirnya terjadi. Terpaksa pula aku memaku diri untuk membaca
arti dari kata-katamu.
BERAT untuk
mengatakan bahwa aku ikhlas atas ketidaksamaan ini.
PERIH sedikit
rasa tak enak yang sebenarnya ingin kubagi denganmu agar kau paham bagaimana
rasanya di posisiku?
TEARS terlalu
konyol untuk menodai akhir pekan dengan air mata.
PORSELEN pernahkah
kau melihat aku lebih jauh? Orang-orang berkata "You're like stone"
Keras Kepala. Yang lain lagi berkata "You're like fire" begitu explosive.
Tapi tidak seperti itu realitanya. "I'm
like Porcelain!" tampak kuat, tapi sekali kau jatuhkan
maka aku hancur. Dan hari ini aku hancur. Menjadi kepingan yang tak berbentuk.
Jika nanti kau datang dan mau membuka hatimu. Maukah kau bantu aku menyatukan
kepingan ini lagi. Lalu simpanlah di hidupmu agar aku merasa aman dan tak takut
jatuh dari mu.
Aku melakukan kebiasaan tolol yang
tak pernah kau sadari. Membuka setiap recent activity Fbmu. Menunggu HP
bergetar dan berharap namamu akan muncul di messages received. Kau membuatku begitu
merindukanmu. Menunggu kedatanganmu dengan penuh perasaan sakit. Dan lebih
meyakitkan lagi karena aku tahu Bian ternyata tidak sungguh-sungguh menungguku
sampai aku mendapat kepastian darimu. Setidaknya dengan ini aku tahu Tuhan
masih menyayangiku karena telah memperlihatkan siapa Bian sebenarnya.
Hari ini kepulangan Andy dan apa yang ia bawa untukku? Aku sudah berharap
banyak, akan tetapi tetap saja dia masih berupa abu-abu. Tidak hitam dan tidak
putih, tanpa kepastian. Aku berniat menemuinya dan memberi ucapan selamat
datang kembali ke sekolah hari ini. Saat jam pulang sekolah aku mendatangi
kelasnya dengan perasaan gugup yang begitu hebat. Begitu sampai di depan
kelasnya aku lihat dia sedang bercengkrama dengan kawan-kawannya. Mereka pasti
merindukannya seperti aku. Akan tetapi ketika aku mau memasuki kelas,
keberanianku menciut. Ingin kembali pulang saja, tapi aku urungkan niat itu dan
memilih berdiri di depan kelasnya sambil mendengarkan perbincangan mereka.
“An, enak ya kamu sebulan makan
gratis, hidup mapan, dapet kenalan cewek-cewek cantik juga to?” ujar salah
seorang diantara teman Andy.
“Makanya ikut konferensi, dapat duit
juga lho hehehe,” jawab Andy dengan nada
bangga.
“Wah ayo makan-makan dong! Oh ya, kamu
jadian sama siapa hayo? Status facebook kok cinta-cintaan melulu. Jangan-jangan
sama temenmu konferensi kemarin ya? Siapa tuh namanya? Denish bukan?” tanya
salah seorang wanita yang tidak aku kenali suaranya.
“Denish? Ya bukanlah, jangan bikin
gossip deh! Mana mungkin aku suka sama dia.”
BLUUMM, seperti ada ledakan dasyat
yang mematahkan paru-paruku. Kata-katanya seperti pisau yang mencacah hatimu
sampai menjadi halus. Sakit. Benar-benar sakit. Seketika itu pula aku menangis,
aku berlari dari tempat itu. Menghindar sejauh mungkin agar tak ada orang yang
melihat peristiwa ini. Aku berlari, lari, dan lari sampai tiba-tiba langkahku
terhenti. Tubuhku menabrak tubuh seseorang namun aku tetap terus melangkah
dengan wajah tertunduk agar ia tidak melihatku menangis. Akan tetapi ia menarik
lenganku dan memaksa agar aku mau mengangkat wajahku yang basah kuyup karena
air mata. Setelah melihat wajahnya ternyata itu Ari.
“Andy lagi?” tanya Ari dengan wajah
kurang menyenangkan. Aku mengangguk sedih membalas pertanyaannya.
“Lupakan dia! Dia belum pantas
mencintai dan dicintai. Bagi dia seni adalah segalanya. Seni itu kasih sayang.
Seni tanpa kasih sayang sama saja mesin. Kamu mau jadi mesin juga?”
Kata-kata Ari membuatku seketika
berhenti menangis. Benar apa yang Ari katakan, aku hanya akan ikut menjadi
mesin bila aku memaksakan diri menjadi seperti apa yang Andy mau. Aku seorang
gadis biasa yang menyimpan 1000 kekurangan di dalam 1 kelebihan. Maka dari itu
aku tak perlu menjadi sempurna untuk Andy. Biar pun kata-kata Andy tak berhenti
bergeming. Tak berhenti menyakiti. Namun tak urung membuatku berhenti
mencintainya. Maka inilah note terakhirku.
“Menggenggam Angin”
Kau sulit dipelajari, mempelajari tiap-tiap bagian tentangmu seperti
menghitung banyaknya butir pasir di pantai. Seperti mengukur tinggi bintang
dengan penggaris. Dan itu terlalu konyol dilakukan oleh orang seperti ku.
Aku melihat ada celah kecil di hatimu. Celah yang binarnya mungkin takkan
pernah terisi oleh kehadiranku. Tapi aku pernah merasakan ada yang berbeda pula
dengan dirimu. Sedikit saja apa aku pernah menyentuh perasaanmu?
Dan mungkin tidak. Karena aku tidak seperti hujan yang sempurna membasahi
duniamu. Aku tidak seperti langit yang sempurna menjadi atap hidupmu. Tapi
pernahkah kau lihat bahwa cintaku mungki lebih sempurna daripada hujan dan
langit?
Aku belajar ilmu terberat kini, "Ilmu
Ikhlas" karena aku sebenarnya menyadari. Menjadi sesuatu yang berarti
bagimu. Ibarat buntung bercita-cita menggenggam
angin.
Aku menahan tangis dan sedih selama membuat note ini. Tapi aku tidak akan
membiarkan diriku terlalu lama tenggelam dalam perih. Siapa bilang
wanita itu lemah? Aku bisa. Bisa untuk menjadi kuat tanpa harus mengharapkanmu
lagi. Bisa menjadi aku yang ceria seperti aku sebelum mengenalmu. Maka cukuplah
bagiku bila engkau mengetahui rasaku. Tak usah pedulikan bagaimana keadaanku
sekarang. Setelah ini akan ku coba hapus dirimu dari relung hidupku. Akan ku cat
ulang warna gua hati yang terlanjur dipenuhi warna abu-abumu. Menyatukan
sendiri porselen hati yang terlanjur pecah menjadi kepingan tak berarti.
Sekalipun harus tertatih perih karena tak ingin melepas rasa indah ini, tapi
akan ku lakukan. Sebab biar pun aku tidak akan bisa menggenggam angin namun aku
yakin, bila waktu mempertemukan kita dalam keadaan yang lebih baik, maka suatu
saat kita bisa bersama untuk melukis warna angin. Percayalah!
Post a Comment