Dhien
Hari ini mau berbagi cerita. Sedikit tentang betapa orang tua kita begitu mencintai anak-anaknya. Hal sepele memang, tapi kita sering lupa bagaimana cara mencintai mereka dengan indah.
Di sebuah pelatihan dasar mahasiswa pertengahan tahun ini, seorang pemandu pelatihan memutar video tentang cinta ayah terhadap anaknya. Sudah 2 bulan aku tidak bertemu ayah, tentu saja melihat video macam itu air mata menetes deras. Membawa kenangan berlayar kembali ke peristiwa 2 tahun lalu.


Pagi buta, awal September 2010
       Hari ini tidak sama seperti hari-hari sebelumnya. Rutinitas bangun tidur, mandi, sarapan, dan berangkat sekolah kali ini berganti dengan persiapan mental. Masih sangat jelas di memoriku terakhir kali aku disuntik karena sakit parah sepulang dari Jakarta. Sekitar 4 atau 5 tahun yang lalu. Dan hari ini aku dipaksa Ayah dan Ibu untuk cek golongan darah di PMI pusat. Memang kata sebagian orang, cek golongan darah itu hanya seperti digigit semut dan hanya butuh 30 detik untuk melupakan rasa sakitnya. Siang ini rencananya aku akan ke kantor polisi sektor Klaten untuk mencari SIM C. Menginjak usiaku yang ke 17 tahun Ayah menjanjikan agar aku segera memperoleh surat izin mengemudi, mengingat aku sering kali kena tilang sepulang sekolah. Berhubung sampai usia 17 tahun kami sekeluarga belum yakin golongan darahku akhirnya sekalian deh mampir ke PMI pusat untuk cek darah.
        Dengan surat izin palsu ke sekolah untuk pertama kalinya aku mbolos atas izin orang tua. pukul 8 pagi suara gerang motor Ayah sudah siap di halaman rumah untuk beranjak ke kantor PMI pusat. Sesampainya di sana, Ayah mengajakku pergi menuju ruang pendaftaran. tidak perlu menunggu banyak waktu aku dipanggil untuk cek golongan darah. Hanya butuh 3 menit dan hasilnya keluar. Kata bu dokter "Golongannya A reshus positif"
       Jlebb..... berasa ketimpa belati dari atas. Ayah yang duduk disampingkku tercengang. mungkin dalam benaknya "Bagaimana bisa anakku bergolong darah A"
       Melihat raut wajah ayah yang pasi terselip rasa takut di sela-sela garis keriputnya. Berharap ada kesalah dalam pengetesan golongan darah tadi. Akhirnya Ayah mulai memecah tanya diantara kita.
       "Kok bisa A bu dokter? Saya dan istri golongan darahnya sama-sama O" tanya ayah dengan wajah cemas.
       "Ya saya tidak tahu pak, tapi kalau keduanya O tidak mungkin anakknya punya golongan darah A" jawab bu dokter dengan wajah innocent.
       Sesaat kurasakan genangan air mata berkumpul di kelopak mata bawah. Rasanya ingin menangis, marah, tidak terima, kecewa, akan tetapi aku harus marah pada siapa? Toh pada kenyataannya aku tidak paham siapa yang salah dalam hal ini. Yang aku tahu aku sudah terlahir dengan keadaan yang seperti ini, dengan segala kekurangan dan kelebihanku. Aku tidak berhak menyalahkan campur tangan Tuhan dalam penciptaanku. Tidak berhak pula menyalahkan kedua orang tua yang sudah susah payah membesarkan aku. Bahkan aku tidak punya hak menyalahkan Bu dokter maupun semua yang berkaitan dengan pengecekan golingan darah ini.
      Aku dan Ayah pergi meninggalkan ruang pemeriksaan dengan raut pasi penuh rasa curiga. Sampai di tempat parkir PMI ayah bertemu seoarang kawan lama yang sekarang bekerja di PMI.
      "Loh Pak, ada apa kok di sini ?" tanya kawan Ayah sembari menjabat tangan.
      "Ini ngecek golongan darah anak. Kok golongan darah anak saya A ya? Padahal saya sama istri O?" tanya Ayah sedikit ragu.
      "Wah ya gag bisa itu, gag mungkin pak, kemungkinannya yang salah dari istri sampean atau dari rumah sakit"
      Jawaban yang ringan tapi menusuk di hati. Jelas saja aku perlu menambah tenaga untuk menahan air mata. Siapa orang yang tidak akan sakit hati bila dikatakan seperti itu di hadapan ayah nya sendiri. Sudahlah, aku cukup berpura-pura innocent, tidak tahu apa-apa, dan cuek. Selentingan kata-kata tajam tadi biarlah jadi angin lalu.
     Selanjutnya aku menuju kantor polsek Klaten untuk melakukan tes SIM C. di ruang tes kepalaku ini rasanya berat, tidak bisa konsentrasi, dan perkara di PMI tadi masih berkutan di otakku dengan kuat. Aaarrgghh, enyahlah pikiran buruk ini.
     Untuk lolos ke tahap selanjutnya aku harus bisa menjawab soal teory minimal 21 soal. Namun dengan kondisi seperti ini aku hanya bisa menjawab benar 14 soal saja.
     GAGAL!
     Ujian SIM C pertama gagal dan kepala semakin berat. seribu tanya mengitari sudut-sudut memoriku. Mencoba menemukan probabilitas bahwa aku masih anak mereka. Semakin aku berfikir semakin jauh aku dari kebenaran. Walaupun pada akhirnya Ayah bisa mengusahakan agar aku bisa mendapat SIM C, hal itu tidak membuatku merasa senang. Masih saja, yang di garda depan otakku saat ini hanya satu pertanyaan. "Anak siapa aku?"
     Dengan perasaan kalut aku dan ayah pulang ke rumah dan menceritakan kejadian tadi pagi di PMI kepada Ibu. Sambil menampakkan muka sembab aku bertanya pada Ibu,
     "Aku anaknya siapa?"
     Seperti biasa, sekalipun Ibu suka marah-marah, tapi hanya beliaulah yang paling mengerti caranya membuat aku tenang.
     "Kamu loh, mirip sama Ayah sama Ibu, apapun hasilnya kamu tetep anak ibu, bukan anak temuan."

     Tahukah kalian bahwa banyak pikiran konyol datang pasca kejadian di PMI. Sempat aku mencurahkan rasa sedihku kepada salah satu sahabat karib. Sumpah konyol banget, kita sempat berencana ke rumah sakit tempat aku dilahirkan dan mencari orang-orang yang juga melahirkan anaknya pada hari yang sama denganku. Bahkan ada ide buat ikut salah satu acara realiti show yang mencari orang hilang semacam "Termewek-mewek". Tapi semua akhirnya diurungkan, karena aku akhirnya memilih ikhlas untuk melupakan masalah golongan darah. Kata sahabatku "Orang tua mu adalah mereka yang membesarkanmu dengan penuh kasih sayang, bukan hanya Ibu yang melahirkanmu."
      Ku simpulkan bahwa merekalah orang tua ku. Tak peduli apa golongan darahku dan apa golongan darah mereka. Bagi mereka aku adalah anaknya dan bagiku mereka adalah orang tuaku.

                              ***

      Dua tahun berlalu, aku melanjutkan study ke Surabaya. Mengejar mimpi-mimpi lain dibalik deru berat hati meninggalkan Ayah dan Ibu di kampung halaman. Bahagianya bahwa di kampung halaman Ibu telah berhasil mewujudkan cita-citanya membuka warung soto. Dari warung soto inilah, Ibu lancar membiayai kuliahku di surabaya dan akhirnya Ayah serta Ibu bisa mendaftarkan diri sebagai calon jamaah haji :)
     Ketika ada waktu kosong 4 hari, aku menyempatkan diri pulang ke Klaten melepas rindu pada keluarga. Sepulang dari kota Ibu menceritakan kisahnya ketika mendaftar jadi calon jamaah haji.
     "Dek, waktu Ibu daftar haji kemarin, ada tes kesehatan dan cek golongan darah ternyata golongan darah Ibu A juga. Kayaknya dulu waktu tes pertama hasilnya salah. Sudah dicek ulang tetep A kok dek."
     Subhanallah.....,
     Ada siraman air membasuh kalbu. Seakan dunia lebih lebar dari biasanya. BAHAGIA. Sekarang tidak ada lagi rasa curiga dan bertanya-tanya dalam hati. Meski selama ini Ibu terutama Ayah ragu terhadap golongan darahku tapi mereka tetap mencitai dan mengasihi aku dengan sepenuh hati. Tanpa mempedulikan embel-embel golongan darahku.

     Dari kisah ini aku ingin berbagi kepada kalian semua bahwa "Di dunia ini tidak ada orang tua yang sempurna, tapi mereka selalu berusaha mencintai anak-anaknya dengan cara yang sempurna" walaupun terkadang mereka marah-marah, sibuk dengan pekerjaannya, lupa dengan keadaan kita, tapi percayalah mereka tetap mencintaimu dengan utuh tanpa meminta imbalan. Seperti itulah kasih sayang, ia tulus dan sederhana.
   

#With love <3
Untuk Bapak sama Mama di Klaten :*
Salam rindu
-Anakmu-


Dhien
Mumpung lagi keranjingan nge-blog
Mau share lagi deh cerpen jaman-jaman ababil dulu....
Maklum ya kalo tata bahasanya masih amburadul, diksi nya masih ngaco,
yang penting ini salah satu hasil pembelajaran menulis semasa SMA ^_^


Menggenggam Angin

Yang keberapa ini? Kesepuluhkah? Ah, aku tak mau menghitungnya. Dan harus butuh berapa note lagi untuk kau memahaminya? Aku selalu merasa menjadi orang bodoh yang tiap hari terpaku pada layar komputer, menunggu kau aktifkan facebook hingga aku bisa mengikuti setiap recent activity mu. Konyol memang. Tapi apa yang bisa aku perbuat selain itu? Berbicara dengan mu? Bagaimana mungkin aku bisa melakukan itu? Bahkan untuk menyentuh ujung kulitmu saja aku tak berani. Maka bacalah! Kumpulan note ini akan bernyanyi tentang rasa ku terhadapmu.
 Hampir 2 tahun di SMA aku tak pernah mengenalnya. Melihat ujung rambutnya saja tidak. Akan tetapi tugas sekolah mempertemukan kami di sebuah kesempatan. Youth Geography Conference. Konferensi geografi tingkat SMA yang ku pikir bakal membosankan bagi orang IPA seperti ku. Aku sendiri tak habis pikir mengapa guru-guru sekolah ku ini justru menunjuk kami anak IPA untuk mewakili sekolah? Apa mereka sudah kehabisan stok anak IPS yang menyukai geografi? Yah…., mungkin saja begitu, aku tidak pernah menyukai pelajaran geografi bahkan tidak peduli pada lingkungan selama di SMA. Pembelajaran yang membosankan, dan semakin membosankan bila Bu guru sudah mengeluarkan kipasnya lalu berceloteh panjang lebar tentang Jepang, Singapura, Amerika dan Negara adigdaya lain. Aku lebih suka menunggu nenek-nenek jompo makan tanpa gigi palsunya daripada harus menunggu pelajaran geografi selesai. Cita-cita ku saat pelajaran geografi, yang pertama, aku ingin membawa setumpuk kapas untuk kujejalkan di telingaku. Kedua, akan ku pakai setoples kacang untuk melempari papan tulis agar kelas menjadi gaduh. Ketiga, akan kugunakan berlembar-lembar kertas untuk membuat pesawat dan akan ku terbangkan di atas kepala teman-teman. Akan tetapi sayangnya semua itu tidak terwujud.
Aku merasa berat hati meninggalkan sekolah demi 2 hari konferensi di Semarang sebab acara ini berlangsung saat tes kenaikan kelas. Seumur hidup aku tak pernah sekalipun mengikuti tes susulan, maka jujur aku paranoid kalau harus tes susulan sendiri. Rasa sebalku semakin menjadi ketika aku tahu dinas kota tidak mau mengantar kami ke lokasi. Aht, apa-apaan ini?! Sudah paksa kami ikut konferensi, sekarang transportasi kami ditelantarkan? Rasanya ingin ku hujat kepala sekolah dan kepala dinas yang memaksa kami mengikuti konferensi dengan dalih, “Acara ini jauh lebih penting daripada sekolah kalian!”
 Apa??? Ratusan tanda tanya berputar di otakku. Dengan dasar apa mereka mengatakan itu? Apa mereka bisa menjamin dengan ikut konferensi nilai rapor kami bagus? Apa dengan ikut konferensi kami lulus ujian nasional? Kedua tanganku mengepal keras serasa panas di tubuhku menguap, mungkin lima menit lagi ubun-ubunku bisa dijadikan sauna dadakan. Aku benar-benar ingin menghardik acara ini atau setidaknya kalau terpaksa aku pergi akan ku bakar sedikit bagian ruang kepala sekolah agar tes semester bisa diundur.
“Ya sudah, Pak Heri saja ya yang nganterin kami ke Semarang. Mau kan Pak?” ujar seseorang dari balik punggungku. Suara itu seketika menusuk jantungku. Aku merasa ada ulat yang merayap di punggung kemudian turun dan mengelitik pinggangku. Tanpa sadar nafasku terhenti sesaat, ada sesak yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku memutar badan 180 derajat dan langsung memakukan pandangan tepat di wajah orang ini. Mataku tak berhenti memperhatikan wajahnya, wajah asing yang sekejap merobohkan kekakuanku. Aku ingin bergerak atau menampar pipiku untuk merubah posisi yang mematung ini tapi kenapa rasanya sulit, berat, dan aku enggan melepaskan tatapannya. Kau…, siapa kau?
Tanpa mempedulikan tubuhku yang masih mematung kaku dia berjalan perlahan menuju gerombolan petinggi sekolah yang tadinya ingin ku bakar kantor mereka. Aku mencium bau tubuhnya yang menghentikan nafasku untuk kedua kalinya. Wanginya langsung menyengat tiap-tiap sudut hatiku, menampar ketololanku yang terpaku konyol di hadapan kawan-kawan. Seluruh tubuhku bergetar ringan dan aku bingung kenapa ini? Dia memunculkan emosi yang ingin ku ulangi lagi, lagi dan lagi. Dari pembicaraan mereka aku tahu dialah partner kerjaku untuk konferensi besok. Tanpa aku sadari seuntai senyum tipis terurai di wajahku. Dan aku mulai menyukai keadaan ini. Doa ku saat ini “Ya Allah, aku rela nggak ikut semesteran 1 minggu demi konferensi ini. Amin.”
Bibirku terkatup pilu untuk berkata-kata. Ingin ku keluarkan secuil kalimat atau sekedar kata “Hay” untuk menyapanya namun tak bisa. Rasa kelu untuk memulai pembicaraan denganmu membuatku merasa tak berguna. Hanya segelintir harap cemas di benak akankah nanti kau memulai pembicaraan dengan menyapa atau menyakan siapa namaku? Beberapa detik sekali ku lirik tubuh lelaki yang duduk di pojok belakang mobil sambil memandang ke luar jendela. Selama perjalanan waktuku habis untuk berbincang tentang konferensi ini dengan partner kerjaku yang lain, Tya. Setidaknya wanita baik di sampingku ini jauh lebih hangat daripada lelaki es yang sudah membiarkanku terlihat konyol karena kehadirannya. Dan berbicara dengan Tya membantuku untuk sedikit melupakan Andy, begitulah nama yang tertera di bagian kanan atas bajunya.
Sebuah hotel berbintang tiga menjadi penginapan sekaligus lokasi konferensi kami. Setelah semua barang bawaan selesai diturunkan kami menuju resepsionis untuk antri check in. Huufft…, ini sama membosankankannya dengan menunggu pelajaran geografi selesai. Lelah dan peluh perlahan merangkul tubuhku, haus yang mencekik kerongkonganku mulai menyiksa. Di tengah rasa penat Andy duduk tepat di kursi sebelahku.
“Hey, aku Andy. Kamu temennya Ari kan?” Ucap Andy sambil menawarkan tangannya untuk berjabat.
Pertanyaannya membuatku hampir kehilangan sadar. Cukup lama aku bengong membiarkan tangannya kosong lama menunggu balas jabatku. Kalau saja Tya tidak menepuk bahuku mungkin aku bisa membiarkan Andy mati gaya karena bibirku yang tak kunjung bersuara.
“Aku Denish. Iya temennya Ari, kok tahu sih? Aku sendiri nggak pernah lihat kamu?” jawabku dengan suara selembut mungkin untuk memberi image wanita kalem di matanya walau sebenarnya aku jauh lebih brangasan daripada singa lapar.
“Wah jahat masa nggak kenal aku? Temen kostnya Ari.”
“Owh…, maaf deh nggak tahu hehe,” Senyumku terurai lebar, bahagia mengetahui dirinya teman baik sahabatku sendiri. Setidaknya aku memiliki kotak rahasia yang efektif untuk mengorek pribadinya yang rumit. Semoga saja ini tak begitu rumit untuk menciptakan rasa yang sama antara dia dan aku. Perbicangan singkat itu membawa sedikit kemajuan karena kami bisa bertukar nomer HP. Harapanku semoga saja nanti ia rajin menghubungiku walau hanya sekedar sms tak penting.
Pukul 4 sore, Andy sudah ceck in, di kamar 420 bersama 2 anak dari pekalongan. Sedangkan aku, Tya, dan salah seorang teman baru dari Solo bernama Virna, terlantar di depan kamar 708 gara-gara kunci kamar hilang terbawa penghuni sebelum kami. Duduk lesehan di depan kamar hotel membuat kami persis seperti gelandangan nyasar di tempat mewah. Sama sekali tidak lucu dan aku merasa benar-benar sial, sudah kunci tak dapat, petugas hotel yang lambat, dan sekarang aku merasa asma ku kumat. Oh God, please jangan bengek di sini! Aku lupa bawa obat.
Aku mencoba mengabaikan sesak yang menghimpit dadaku. Pura-pura sehat dan seakan tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi keadaan tidak berkata demikian, badanku mulai drop. Namun Ada yang sedikit mengobati. Pukul 7 malam sms dari Andy menggetarkan HP ku.
“Bosen nih di kamar. Jln2 yux!”
Tanpa menunggu sedetik pun terbuang langsung ku balas smsnya, “Tapi Tya lagi belajar bareng temennya, masa cuma berdua?”
Semenit berlalu tak juga masuk balasannya dan tett… tett… bel kamar berbunyi, aku pikir petugas hotel yang mengantar snack malam, tapi ternyata itu Andy. Aku tersentak kaget melihat badannya yang tegap berhadapan langsung denganku dan baru aku sadari ternyata aku tak lebih tinggi daripada dagunya. Degup jantung yang lebih cepat dari biasanya membuat sesak nafas ini semakin menyakitkan, namun tak akan ku biarkan sakit menjadi duri yang membunuh kesempatan baik ini. Untung saja Tya sedang sibuk belajar dengan kawannya mempelajari materi konferensi besok, jadi aku bisa jalan berdua dengan Andy. Lingkungan seputar hotel menjadi tujuan kami berkeliling. Karena suatu hal Andy menyuruhku menunggu di dekat kamarnya, dan aku hanya menurut saja.
Di dekat kamar Andy ada cermin besar dengan bingkai silver mewah. Sementara Andy sedang pergi, ku sempatkan diri bercermin sejenak dan membenahi rambutku yang tak karuan. Malam ini dinginnya cukup menusuk, melukai ujung ujung saraf kulitku yang tak tahan dingin. Menahan paru-paruku yang menjerit “Please…, kami butuh oksigen!” arrgh…, I need blanket. Ku tengok sedikit bagian luar jendela yang terletak tepat di samping cermin, mencoba mencari-cari satu saja bintang yang mungkin bisa menghangatkan pandanganku. Dari belakang Andy datang dan langsung menjajariku dengan posisi menghadap keluar jendela.
“Kamu sesak nafas ya?” ucap andy tanpa memperhatikanku sebagai lawan bicaranya.
“Iya,” jawabku singkat sambil melihat wajahnya yang tersenyum menatap suasana malam kota Semarang.
“Hmmm…, enak banget ya di sini.”
“Iya An, comfortable banget. Eht di sana ruang makan ya? Temen-temen lain sudah pada makan, kita makan juga yuk laper.” Aku tersenyum manis menghadap wajahnya yang juga memandangku dengan binar yang berbeda dari sebelumnya.
“Ok,”
Wajahnya yang tersenyum hangat membuatku lupa kalau aku sedang sakit. Caranya bicara menjadi selimut terhangat yang pernah ada. Dan aku tahu sekarang, bahwa aku tak perlu obat asma saat aku bengek. Aku tak perlu selimut saat kulitku tersakiti oleh dinginnya malam. Dan aku tak perlu sendiri untuk menikmati suasana jendela ini. Karena yang aku butuhkan hanya satu. Bersamamu.
Esok pagi pukul 9 konferensi dimulai. Perdebatan antar ahli geografi bertubi-tubi saling menghantam. Mulai dari pembicaraan tentang anomali angin, vulkanologi, awan, efek rumah kaca dan pembelajaran geografi yang tak menarik minat siswa, semuanya tumpah di sini. Tapi ada orang yang paling kukagumi, pernyataan Andy. Ia berkata, “Bagaimana mungkin pemerintah membiarkan kesenjangan pendidikan terjadi untuk mapel geografi. Di SMA geografi masuk dalam jurusan IPS padahal diperguruan tinggi geografi masuk dalam jurusan IPA. Jelas anak IPS hanya dapat memasuki jurusan geografi di perguruan tinggi bila mereka bisa mengerjakan soal fisika, kimia yang sejatinya tak pernah mereka pelajari selama 2 tahun. Sedangkan anak IPA yang masuk jurusan geografi di perguruan tinggi tidak memiliki dasar ilmu cukup untuk mengembangkan geografi itu sendiri sebagai ilmu terapan dan ilmu murni. Geografi adalah ilmu istimewa sebagai jembatan IPA dan IPS maka perhatian dari pemerintah perlu ditingkatkan dalam menata ulang kurikulum pendidikan SMA.”
Aku tak pernah memikirkan geografi sampai sejauh itu dan Andy membukakan mataku bahwa geografi lebih baik daripada menunggu nenek jompo makan tanpa gigi palsunya. Semua berlalu begitu cepat, setelah konferensi ini selesai aku tetap masih bisa kontak dengan Andy karena kami harus mengikuti tes semester susulan. Facebooknya juga menjadi tempatku melepas rasa rindu karena kami jarang bicara. Aku merasa jauh lebih bahagia dengan hidupku yang sekarang. Andy telah menjadi obat mujarab untuk menutupi luka hati yang terakhir ditorehkan oleh Edo. Akan tetapi banyak diantara teman-temanku yang mencibir rasaku terhadap Andy. Mereka menyalahkanku yang cepat mencari penutup luka setelah kepergian Edo yang menyakitkan. Andy sendiri orang yang sulit dimengerti, kadang hangat, kadang beku. Sedangkan aku mulai goyah untuk menunggunya.
Di tengah rasa tak nyaman ini Bian datang menawarkan hatinya yang terbuka lebar untukku. Aku tak mengerti bagaimana dia bisa tahu aku menunggu Andy yang tak kunjung memberi isyarat tentang perasaannya terhadapku.
“Den, sekalipun kamu nunggu Andy, tapi aku nggak akan nyerah untuk meyakinkanmu kalau aku lebih baik dari dia. Kasih kesempatan aku buat nunjukin ke kamu kalau perasaan ini tulus.” kata Bian mencoba meyakinkan aku.
“Bi, aku menghargai perasaanmu, dan jujur kamu baik banget sama aku. Tapi perasaanku ke Andy juga tulus.” Aku sedikit berat hati mengatakannya karena aku takut cara ini justru membuat Bian tak mau menganggapku lagi sebagai teman.
“Tunggu aja aku buktiin ke kamu kalau aku serius mau nunggu kamu.”
Aku sempat termakan kata-kata Bian tapi perasaanku terhadap Andy jauh lebih besar. Di saat yang hampir bersamaan Deka juga mulai sms nggak penting dan obral omongan. Akan tetapi aku jauh tidak akan termakan kata-kata playboy cap duren busuk ini. Dia menganggapku mudah ia tumbangkan seperti wanita lain. Kata-katanya yang menganggapku gampangan, semakin membuatku malas menanggapinya. Akhirnya ku buat note facebook pertamaku.
Es, Api, Angin, dan Aku
Aku tak tahu bagaimana caranya menggambarkan kalian.
ES :: Dataran dingin yang begitu ingin ku sentuh, namun sulit. Jauh & begitu dalam dirimu untuk ku raih. Tapi semua itu membuatku semakin ingin mengenalmu. Menyentuh hatimu. Rasa optimis dan ambisiusmu untuk mencapai apa yang kau mau begitu kuat. Hingga belum pernah ku tahu ada wanita yang berhasil menaklukan sikapmu. DINGIN! Aku benci itu. Sikap apatismu seperti jarum es yang menusuk pada tiap jengkal kulitku. SAKIT! Itu yang ku rasa. Namun terkadang begitu ingin aku membeku bersamamu. Hingga tak ada celah yang melepaskan hatiku dan hatimu.
API :: API datang, tak lama setelah aku hampir putus asa untuk menaklukanmu. Ia tak membiarkan aku merasa kedinginan atas semua caramu menghindariku. Ia patahkan semua jarum es yg tertancap di tubuhku. LEBIH BAIK. yaaaahh..., aku merasa lebih baik sekarang. Ada rasa hangat yang sudah lama tak melilit perasaanku. Akan tetapi..., apa itu bisa menggoyahkan hatiku untuk bertahan menunggumu ES?
ANGIN :: Ia tiba-tiba datang mencoba menggoyahkan ku diantara ES dan API. Tapi kau seenaknya sendiri, pergi kesana kemari. Kata-katamu, sikapmu, jauh lebih menyakitiku daripada ES. Kau anggap aku mudah untuk kau tumbangkan seperti pohon-pohon di tepi jalan. Apa kau pikir aku mudah gugur seperti daun-daun yang kau ajak pergi dari tangkainya? TIDAK!!! aku tak semudah itu.
AKU :: Aku hanya sekumpulan kata-kata yang entah berharga atau tidak di telingamu.
Aku hanya sebuah bayang-bayang yang entah pernah kau perhatikan atau tidak.
Dan aku, hanyalah sebuah kebimbangan untuk memilih bertahan atau pergi?

            Aku bingung mengapa noteku yang ini banyak disukai teman-teman. Apa mereka merasakan hal yang sama denganku setelah mereka mencibir kukuhnya pendirianku untuk bertahan menunggu Andy. Tapi sayang Andy jarang memberi jempol di status atau pun noteku. Konferensi bulan lalu membawa Andy untuk melaju ke kongres nasional global warming di Padang. Maklumlah, pernyataannya tentang geografi luar biasa. Aku turut senang melihat Andy senang, namun di satu sisi aku merasa sedih karena aku tak akan bisa melihatnya selama 1 bulan.
            Baru seminggu ia pergi aku sudah benar-benar merindukannya. Aku ingin dia memberi isyarat rasa apa yang ia punya untukku. Cinta atau bukan. Maka ku buat note ke 2.
Mengapa Tak kau Ucap Sekarang
Kesekian kalinya untuk sebuah kebingungan. Aku takut membuat note bodoh lagi. Hingga orang-orang akan berkomentar acuh setelah membacanya. Sebenarnya tak ingin ku tulis semua ini, tapi sebuah lagu membuatku bergetar ingin menangis. Mengingatkan ku pada waktu di mana orang-orang tak banyak berkomentar tentang kita. Tak ada mereka yang memandang sinis terhadap bahasa tubuh kita. Tak ada mereka yang mengejek rasa kagum yang lama-lama tumbuh menjadi getar rindu. Hanya kau dan aku yang paham apa yang terjadi. Tapi kau selalu diam, sedangkan orang-orang itu selalu memberiku pukulan keras yang akhirnya memaksaku untuk jatuh dan menyerah.
Mereka TAK BERHAK menghujat prasaan yg muncul tanpa rencana ini.
Aq tak berharap lebih untuk saat ini. Sebab aku tahu cita-citaku jauh lebih berharga daripada dirimu. Yang aku ingin hanya 1. Mendengar kejujuran dari mulutmu. Jika aku bisa kembali berada di hadapan jendela itu dengan mu, maka aku akan berkata.
*bila sang cinta tumbuh di hati kita mengapa tak kau ucap sekarang?
            Note ini tidak aku publish. Aku lebih memilih skip note ini karena aku tak ingin banyak orang yang membacanya. Terutama Edo, aku tak mau dia membaca apalagi sampai berkomentar di noteku. Tak lama kawan-kawanku sms dan memintaku untuk menghapus note ini. Mereka merasa aku terlalu blak-blakan dan tidak etis. Terserahlah apa kata mereka aku tak peduli. Beberapa jam setelah itu ku buka facebook dan kulihat ia komentari note ku.
            “Aku ditag dumz, hehe,”
            Tanpa pikir panjang ku tag noteku ke Andy. Ya Ampun Tuhan aku hampir pingsan, jujur aku paranoid begitu ia komentar minta ditag. Biarpun aku terlalu jujur dengan membuat note ini tapi untuk apa pula dia komentar di note yang aku skip? Tak lama berselang, Lia salah satu kotak rahasiaku selain Ari dan Aries berkata,
            “Den, buka facebook sekarang. Cepet, lihat statusnya Es!”
            “Emang apa sih?”
            “Jangan banyak tanya, baca aja sendiri.”
            Aku tersentak kaget, statusnya “Aku Mencintaimu” tapi aku terlambat. Statusnya sudah tertumpuk dengan status baru. Awalnya aku merasa sedikit GR dengan status Andy, karena status ini dibuat tidak lama setelah dia minta ditag noteku. Namun Aries berkata lain.
            “Gimana kalau seandainya status itu buat orang lain? Nggak menutup kemungkinan kan dia sudah lama suka sama cewek lain? Atau dia ketemu cewek cantik di Padang?”
            “Iya ya, gimana kalau itu bukan buat aku?” aku tertegun mendengarnya. Kata-kata Aries berhasil menumbangkan harapku dalam sekejap. Bagaimana pun kata-kata Aries ada benarnya. Lebih baik tidak berpikir bahwa status itu untukku, takutnya aku akan jatuh dan patah dengan rasa sakit yang luar biasa kalau aku menemukan wanita lain yang jadi sasaran statusnya. Tiba-tiba aku merasa jadi orang bodoh yang terlalu berharap lebih untuk sebuah rasa berharga yang sulit untuk digapai oleh orang sepertiku. Konyol! Ini adalah pertama kali aku terlalu blak-blakan mengungkapkan perasaanku terhadap lelaki. Akan tetapi entah karena kejujuran, kecerobohan, atau ketololanku, hingga aku takut dan merasa menyesal telah membuat note itu. Mungkin ada cara lain yang lebih baik dan lebih indah untuk menyiratkan semua yang ada. Mungkin suatu saat bisa kubuat seratus bangau kertas yang tiap-tiap bagiannya tertulis doa untukmu atau kubuat seratus puisi dengan kata-kata yang sekiranya orang akan berpikir "aht gag penting banget sih!" atau aku hanya diam? Dan berharap suatu saat aku bisa menjadi samudra yang menjadi tempatmu terakhir bermuara. Tapi mungkinkah?
Maka ku buat note lagi “Kali Ketiga Untuk Kebuntuan”
Aku benci mengakui kecerobohan atau kejujuran ku dalam menulis note. Lama sudah tak kubuat tulisan dengan puluhan simile berbau cinta. Sebab paradigma mereka penuh cibiran karena tulisan-tulisan ini justru menjadi bukti kebodohanku yang tak bisa berbuat banyak di hadapan mu.
Apa kau membacanya? Tak apa
Tapi mungkin semua akan menjauhkanmu dari ku. Benarkah?
Seandainya bisa ku minta bantuan pada bulan, ku ingin ia mengatakan,
*Bersikaplah biasa seakan kau tak pernah tahu isi catatan ku
atau ku minta bantuan pada matahari untuk mengatakan
*Aku memang mengagumimu, tapi semua tak harus jadi satu. Karena aku tahu ini belum saatnya.
dan.... bantuan dari angin, supaya ia berhembus dan berbisik lirih di telingamu
*Sama kah perasaanmu dengan ku?
Sama seperti catatanku di awal. Keinginanku hanya 1. Mengetahui perasaan hatimu kepadaku. Hanya itu. TAK LEBIH.
            Perasaan yang berkecamuk ini membuatku drop. Untung aku mempunyai Ari, Lia, dan Aries yang selalu ada saat aku butuh bahu untuk bersandar dan selalu menyediakan jari mereka untuk menyeka air mataku. Seandainya Tuhan tidak menghadirkan mereka di hidupku entahlah aku masih mampu bertahan atau tidak menunggu Andy.
            “Tenang Den, udah kelas 3 loh. Jangan terlalu dipikir nanti kamu sakit lagi!” kata-kata Ari selalu bisa menguatkan hatiku saat-saat sedih seperti ini. Aku berharap Andy segera pulang dan bisa memberi kepastian tentang perasaannya. Entah suka atau tidak denganku, aku ikhlas menerimanya. Aku tidak akan memaksakan dia harus merasakan hal yang sama denganku.
            Aku melihat recent activity mu dan kudapati kau menanggapi wall gadis lain sedangkan wallku tak kau balas. Sedih dan itu menguatkan pernyataan Aries tentang sasaran statusmu.
            “Andy bukalah Fb mu, dan coba baca noteku yang ini!” Aku bergumam lirih di depan layar komputer berharap ia akan baca note terbaruku.
            Porcelain
Sudah ini yang keempat untuk note bodoh. Ku hadapi layar note bermenit-menit dan hanya kosong yang kudapati. Pikirku buntu untuk menjelaskn apa yang hatiku mau. Aku tertegun bisu mengetahui hal yang tak ingin ku yakini bahwa itu nyata, akhirnya terjadi. Terpaksa pula aku memaku diri untuk membaca arti dari kata-katamu.
BERAT untuk mengatakan bahwa aku ikhlas atas ketidaksamaan ini.
PERIH sedikit rasa tak enak yang sebenarnya ingin kubagi denganmu agar kau paham bagaimana rasanya di posisiku?
TEARS terlalu konyol untuk menodai akhir pekan dengan air mata.
PORSELEN pernahkah kau melihat aku lebih jauh? Orang-orang berkata "You're like stone" Keras Kepala. Yang lain lagi berkata "You're like fire" begitu explosive. Tapi tidak seperti itu realitanya. "I'm like Porcelain!" tampak kuat, tapi sekali kau jatuhkan maka aku hancur. Dan hari ini aku hancur. Menjadi kepingan yang tak berbentuk. Jika nanti kau datang dan mau membuka hatimu. Maukah kau bantu aku menyatukan kepingan ini lagi. Lalu simpanlah di hidupmu agar aku merasa aman dan tak takut jatuh dari mu.
            Aku melakukan kebiasaan tolol yang tak pernah kau sadari. Membuka setiap recent activity Fbmu. Menunggu HP bergetar dan berharap namamu akan muncul di messages received. Kau membuatku begitu merindukanmu. Menunggu kedatanganmu dengan penuh perasaan sakit. Dan lebih meyakitkan lagi karena aku tahu Bian ternyata tidak sungguh-sungguh menungguku sampai aku mendapat kepastian darimu. Setidaknya dengan ini aku tahu Tuhan masih menyayangiku karena telah memperlihatkan siapa Bian sebenarnya.
Hari ini kepulangan Andy dan apa yang ia bawa untukku? Aku sudah berharap banyak, akan tetapi tetap saja dia masih berupa abu-abu. Tidak hitam dan tidak putih, tanpa kepastian. Aku berniat menemuinya dan memberi ucapan selamat datang kembali ke sekolah hari ini. Saat jam pulang sekolah aku mendatangi kelasnya dengan perasaan gugup yang begitu hebat. Begitu sampai di depan kelasnya aku lihat dia sedang bercengkrama dengan kawan-kawannya. Mereka pasti merindukannya seperti aku. Akan tetapi ketika aku mau memasuki kelas, keberanianku menciut. Ingin kembali pulang saja, tapi aku urungkan niat itu dan memilih berdiri di depan kelasnya sambil mendengarkan perbincangan mereka.
            “An, enak ya kamu sebulan makan gratis, hidup mapan, dapet kenalan cewek-cewek cantik juga to?” ujar salah seorang diantara teman Andy.
            “Makanya ikut konferensi, dapat duit juga lho hehehe,” jawab Andy  dengan nada bangga.
            “Wah ayo makan-makan dong! Oh ya, kamu jadian sama siapa hayo? Status facebook kok cinta-cintaan melulu. Jangan-jangan sama temenmu konferensi kemarin ya? Siapa tuh namanya? Denish bukan?” tanya salah seorang wanita yang tidak aku kenali suaranya.
            “Denish? Ya bukanlah, jangan bikin gossip deh! Mana mungkin aku suka sama dia.”
            BLUUMM, seperti ada ledakan dasyat yang mematahkan paru-paruku. Kata-katanya seperti pisau yang mencacah hatimu sampai menjadi halus. Sakit. Benar-benar sakit. Seketika itu pula aku menangis, aku berlari dari tempat itu. Menghindar sejauh mungkin agar tak ada orang yang melihat peristiwa ini. Aku berlari, lari, dan lari sampai tiba-tiba langkahku terhenti. Tubuhku menabrak tubuh seseorang namun aku tetap terus melangkah dengan wajah tertunduk agar ia tidak melihatku menangis. Akan tetapi ia menarik lenganku dan memaksa agar aku mau mengangkat wajahku yang basah kuyup karena air mata. Setelah melihat wajahnya ternyata itu Ari.
            “Andy lagi?” tanya Ari dengan wajah kurang menyenangkan. Aku mengangguk sedih membalas pertanyaannya.
            “Lupakan dia! Dia belum pantas mencintai dan dicintai. Bagi dia seni adalah segalanya. Seni itu kasih sayang. Seni tanpa kasih sayang sama saja mesin. Kamu mau jadi mesin juga?”
            Kata-kata Ari membuatku seketika berhenti menangis. Benar apa yang Ari katakan, aku hanya akan ikut menjadi mesin bila aku memaksakan diri menjadi seperti apa yang Andy mau. Aku seorang gadis biasa yang menyimpan 1000 kekurangan di dalam 1 kelebihan. Maka dari itu aku tak perlu menjadi sempurna untuk Andy. Biar pun kata-kata Andy tak berhenti bergeming. Tak berhenti menyakiti. Namun tak urung membuatku berhenti mencintainya. Maka inilah note terakhirku.   
            “Menggenggam Angin
Kau sulit dipelajari, mempelajari tiap-tiap bagian tentangmu seperti menghitung banyaknya butir pasir di pantai. Seperti mengukur tinggi bintang dengan penggaris. Dan itu terlalu konyol dilakukan oleh orang seperti ku.
Aku melihat ada celah kecil di hatimu. Celah yang binarnya mungkin takkan pernah terisi oleh kehadiranku. Tapi aku pernah merasakan ada yang berbeda pula dengan dirimu. Sedikit saja apa aku pernah menyentuh perasaanmu?
Dan mungkin tidak. Karena aku tidak seperti hujan yang sempurna membasahi duniamu. Aku tidak seperti langit yang sempurna menjadi atap hidupmu. Tapi pernahkah kau lihat bahwa cintaku mungki lebih sempurna daripada hujan dan langit?
Aku belajar ilmu terberat kini, "Ilmu Ikhlas" karena aku sebenarnya menyadari. Menjadi sesuatu yang berarti bagimu. Ibarat buntung bercita-cita menggenggam angin.

            Aku menahan tangis dan sedih selama membuat note ini. Tapi aku tidak akan membiarkan diriku terlalu lama tenggelam dalam perih. Siapa bilang wanita itu lemah? Aku bisa. Bisa untuk menjadi kuat tanpa harus mengharapkanmu lagi. Bisa menjadi aku yang ceria seperti aku sebelum mengenalmu. Maka cukuplah bagiku bila engkau mengetahui rasaku. Tak usah pedulikan bagaimana keadaanku sekarang. Setelah ini akan ku coba hapus dirimu dari relung hidupku. Akan ku cat ulang warna gua hati yang terlanjur dipenuhi warna abu-abumu. Menyatukan sendiri porselen hati yang terlanjur pecah menjadi kepingan tak berarti. Sekalipun harus tertatih perih karena tak ingin melepas rasa indah ini, tapi akan ku lakukan. Sebab biar pun aku tidak akan bisa menggenggam angin namun aku yakin, bila waktu mempertemukan kita dalam keadaan yang lebih baik, maka suatu saat kita bisa bersama untuk melukis warna angin. Percayalah!



Dhien
Beberapa kali aku coba-coba ngririm cerpen maupun essay ke redaksi atau beberapa event...
Ada yang komentarnya positif ada jg yang belum lolos :D
Minimal udah dapet nilai tertinggi kedua di kelas untuk nilai ujian praktek bahasa Indonesia.
mau share cerpen yang terakhir aku kirim buat lomba ramadhan dari JMMI ITS.



Nanar di Wajah Anakku

            “Ayah jahat Bu, jahat!” kata-kata itu berputar di otakku untuk kesekian kalinya. Begitu yang selalu Kuncoro ucapkan untuk menghujat ayahnya yang tega meninggalkan kami di saat kebutuhan rumah tangga dan sekolah anak-anak sedang meningkat. Sudah dua bulan suamiku pergi dari rumah. Aku mencoba kesana kemari mencari keberadaannya namun hasilnya nihil. Atasan suamiku juga turut membantuku, mungkin karena Ia tidak kuat hati melihat wajahku yang sayu penuh peluh setelah berkeliling mencari suamiku. Aku masih sanggup untuk menahan ini, sekuat tenaga aku meyakinkan hati bahwa aku adalah istri yang kuat. Akan tetapi tidak dengan Kuncoro, anak keduaku yang paling keras menyalahkan ayahnya atas ketidakselarasan di keluarga ini. Untung aku masih memiliki Aan, anak pertamaku yang kini bekerja di salah satu bank swasta. Jalan pikirannya jauh lebih dewasa daripada aku, ibunya. Sedangkan si bungsu Fadli, usianya masih 8 tahun namun aku merasakan ada derai kekecewan dari sorot matanya yang kosong tiap menatap foto ayahnya.
            Hari ini adalah puasa Ramadhan pertama tanpa hadirnya suamiku. Kehangatan bulan penuh barokah yang tidak sama seperti tahun sebelumnya. Bahkan aku berpura-pura seakan tidak terjadi sesuatu dalam keluarga ini. Tapi aku tidak berniat membohongi anak-anakku, aku hanya menjaga perasaan mereka agar tidak terluka sepertiku.
            “Ya Allah kembalikan suamiku,” secuil doa kecil yang kuminta pada Tuhan. Berjuta rasa yang bergumul dalam batin menyesakan dadaku, menjatuhkan segala kekuatan yang sudah kubangun selama satu bulan ini.
“Aku kuat, kuat, ya Allah.” rasa perih merangkak pada tiap jengkal kulitku, memecah derai air mata yang tak kuasa lagi aku tampung. Tiba-tiba dari belakang Kuncoro memelukku seraya berbisik lirih.
            “Ibu, jangan menangis. Air mata Ibu terlalu berharga untuk Ayah. Kita bisa hidup sendiri tanpa adanya laki-laki biadab tak bertanggung jawab itu!”
            “Nak kau tak pantas mengatakan itu. Bagaimana pun ia tetap ayahmu!” jawabku sembari berbalik dan mengelus kepalanya.
            “Aku benci punya ayah seperti dia. Aku tak peduli sekali pun tidak bisa melihatnya lagi. Apa yang dia perbuat kepada kita sungguh keterlaluan!”
            “Ayah pasti punya alasan kenapa dia pergi,” kataku mencoba menenangkan Kuncoro yang terbakar kebencian.
            “Alasan? Wanita lain? Sudahlah Bu, hentikan membahas laki-laki itu, aku muak!” Kuncoro bergegas pergi mengenyahkan pembicaraan tentang ayahnya.
            Puasa hari kedua, kekacauan terjadi. Suamiku pulang, aku bahagia, benar-benar bahagia melihatnya tapi kebahagian itu patah seketika saat kulihat gadis kecil ia gandeng memasuki rumah. Siapa anak itu? Aku tidak pernah melihatnya. Apa itu anak tiriku? Daguku bergetar menahan tangis, ingin segera aku mendapat kejelasan atas semua yang terjadi. Namun aku urungkan niat itu, biarlah suamiku saja yang akan menjelaskannya setelah Ia siap. Tidak lama setelah Ia beristirahat dan minum kopi, Ia memintaku untuk duduk di sebelahnya.
            “Duduklah di sini!” perintah suamiku sambil menepuk bagian samping kursinya.
            “Iya Yah, apa Ayah mau menjelaskan sesuatu?”
            “Benar, Ayah rasa Ibu tahu apa yang akan Ayah jelaskan.”
            Menatap matanya yang penuh keyakinan membuatku semakin ingin menangis. Apa yang terjadi dengan suami yang dulu aku banggakan? Apa dia benar-benar berniat meninggalkan kami? Menatap cerminan wajahku di kedua bola matanya. Tampak kusut dan hancur. Aku mencoba mencari-cari adakah cinta yang masih tersimpan dari tatapanya? Aku yakin masih ada suamiku, masih, dan jangan sekali pun kau berpikir untuk pergi.
            “Bu…, ini Angle anakku dari Maria, yang berarti dia…”
            “Saudara tiruku?” Bentak Kuncoro yang tiba-tiba datang menyela pembicaraan.
            “Tunggu kuncoro, Ayah bisa jelaskan!” kata suamiku dengan raut wajah kaget.
            “Tidak perlu! Aku benci punya Ayah berhati mesin. Pergi! Kuncoro lebih baik hidup bersama Ibu dari pada bersama Ayah, ibu tiri, apalagi saudara tiri!” teriak Kuncoro sambil menuding keluar pintu.
            “Kun, ini Ayah lakukan karena nenekmu menginginkan cucu perempuan sedangkan Ibumu tidak bisa memberikan keturunan anak perempuan!”
            “Alasan bodoh! PERGI!”
            Teriakan kuncoro yang terakhir membuat Angle menangis dan tanpa berkata apa-apa lagi suamiku pergi. Pergi dengan meninggalkan belati yang menancap di hati kami. SAKIT. Ini adalah rasa paling sakit yang pernah aku rasakan. Kini hanya ada tangis antara aku dan Kuncoro. Bibir kelu, tatapan kosong, dan air mata di batin Kuncoro yang tidak bisa aku hapuskan. Maafkan ibu Nak, Ibu tidak bisa berbuat banyak. Maaf.
            Aan pulang menjemput Fadli dari kursus bahasa Inggris. Mereka berdua bingung melihat kekakuan yang terjadi antara aku dan Kuncoro. Selepas shalat tarawih kami berempat berkumpul di ruang keluarga untuk menjelaskan apa yang terjadi pagi tadi. Namun sama saja, kami masih bisu seribu bahasa, membiarkan televisi menjadi satu-satunya hal yang berisik. Tampak nanar di ketiga wajah anakku. Menungguku mulai mengatakan sepotong kalimat agar cicak di dinding tidak lagi memandang kami curiga. Sayup-sayup seakan kudengar tembok-tembok ini menahan tawa. Mengejek kebodohanku sebagai seorang ibu yang gagal mempertahankan keharmonisan keluarga. Hingga anak-anakku harus menjadi korban dari kesalahanku.
Maka air matalah yang pertama memecah hening di antara kami berempat.
            “Kenapa Ibu menangis?” tanya Aan sembari duduk menjajariku.
            “Ayahmu An, ayahmu punya istri lagi,” jawabku lirih dengan tangis yang semakin menjadi. Aan memelukku mencoba meyakinkan bahwa aku tidak sendiri, bahwa aku masih memiliki ketiga anak yang luar biasa setia di sampingku.
            “Aan sudah tahu sebulan lalu, tapi Aan diam. Aan takut Ibu tidak bisa terima dengan semua keputusan Ayah untuk menikah lagi. Sekarang sudahlah, jangan lagi tangisi Ayah. Ibu masih punya kami.”
            Maka menangislah aku sejadi-jadinya lalu kupeluk erat ketiga anakku. Mendekap mereka agar tak lagi ada yang lepas dari hidupku. Aku tidak peduli jika dinding-dinding ini tetap tertawa menyalahkanku. Karena tidak akan lagi kubiarkan nanar menghiasi wajah anakku.
***
            Sudah satu minggu lewat dari kekacauan awal Ramadhan ini dan keadaan kami sama sekali tidak ada perubahan hingga datang sepucuk surat beratasnamakan Maria.
            Suatu hari aku melihat anak burung yang hidup sendiri karena induknya mati dikalahkan waktu. Kemudian daun-daun yang menguning dan jatuh dari tangkainya karena musim memaksanya jatuh. Lalu aku melihat diriku sendiri, apakah nanti aku akan meninggalkan hal terpenting di hidupku tanpa memberinya perlindungan? Aku mungkin bukan wanita baik, tetapi jika kau berkenan untuk tahu lebih banyak, datanglah ke pasar sore menjelang buka puasa. Kau akan selalu temukan aku di kedai es blewah.
                                                                                                                        Maria

            Terbesit niat untuk mengenyahkan undangan ini, akan tetapi rasa penasaran menggoda hati untuk datang menemuinya. Maka diam-diam hari ini aku memasak lebih awal, mengantisipasi jika nanti aku pulang terlambat. Memasuki pasar sore segerombol orang saling berdesakkan mengantri bubur ayam dan sebelahnya seorang ibu penjaja kue duduk menyangga dagu sambil mengibas-ngibaskan kemoceng mengusir lalat-lalat yang mengicipi kuenya. Aku berlalu dari pemandangan ini dan berjalan menyusuri pasar lebih dalam. Pandanganku berkeliling mencari kedai blewah milik Maria, namun ada banyak stand yang menjual es blewah di sini. Lalu mana yang harus aku tuju?
            Wajah gusarku menarik perhatian beberapa orang yang menatap penuh cibiran. Apa mereka pikir aku sedikit tidak waras karena berdiri di tengah pasar dengan wajah penuh kebingungan? Tiba-tiba seseorang menepuk bahuku dari belakang. Sontak aku menarik satu langkah ke depan dan berbalik arah untuk melihat wajah orang itu. Aku semakin kaget ternyata wanita berkerudung ini disangga oleh dua tongkat panjang di kanan kiri tubuhnya. Celana bagian kanannya digulung mencapai lutut yang tak terlihat. Ia buntung.
            “Mbak mari mampir ke kedai saya.”
            Aku hanya mengangguk mengiyakan ajakannya. Dengan raut muka penuh sesal aku berjalan mengikuti langkah tongkatnya. Betapa terkejutnya aku ketika ia melangkah menuju kedai es blewah tidak jauh dari ujung pasar. Aku berbalik arah berniat kabur darinya tapi wanita itu menahan gerakku.
            “Tunggu! Mampirlah sebentar, setidaknya izinkan aku menyuguhkan buka puasa yang ala kadarnya ini.”  
            Aku bimbang, rayuannya mengusik niatku untuk pergi. Aku tidak bisa mengelak, akhirnya kuputuskan untuk tinggal sejenak di kedai itu hingga adzan maghrib berkumandang.
            “Kau menerima suratku?”
            Pertanyaannya secara tidak langsung menjelaskan bahwa dia adalah Maria. Aku menahan nafas, mencoba merangkai kata untuk menjawab pertanyaannya.
            “Eng…, eng…, kau Maria?” tanyaku dengan terbata.
            “Iya kau benar, tunggu sebentar ya, aku selesaikan dulu pekerjaanku.” Santun ucapannya dan senyum simpulnya yang menawan, membuat semua orang bersimpati. Wajar jika suamiku terpikat walau anggota badannya tidak lengkap.
            Di tengah keramaian orang-orang yang mengantri es blewahnya datang seorang laki-laki yang tiba-tiba memeluk dan mencium keningnya. Sontak seketika itu juga amarahku meledak karena hatiku terkoyak. Mengingat ibadah puasaku hari ini maka aku putuskan untuk pergi dari tempat itu.
            Siapa laki-laki itu? Kenapa mereka mesra sekali? Sejuta pertanyaan menghantam dadaku. Satu per satu laci dalam otak, aku obrak-abrik untuk mencari jawaban atas semua rasa penasaran ini namun sayang hasilnya nihil.
***
            Kejadian sore kemarin mengganggu pikiranku. Seperti itukah wanita idaman suamiku? Wajahnya memang manis tetapi kakinya satu dan dia tampak murahan. Dengan mudah laki-laki yang bukan suaminya mencium dan memeluknya. “Aku jauh lebih baik suamiku!” umpatku dalam hati sepanjang hari. Yah, memang benar Ia mampu memberikan keturunan perempuan yang lama diidam-idamkan mertuaku tapi sayang sekali, cucu perempuan itu harus dibayar mahal oleh ketidaksetiaan menantu barunya. Andai saja mertuaku tahu pasti Ia akan menyesal sudah menolakku dalam keluarga besarnya.
            Malam ini sungguh tidak nyaman, perasaanku kalut, ada keraguan yang merayap dalam hela nafasku, penyesalan yang menarik pelan dari dalam perut dengan ujung kail kecil menuju hulu kerongkongan. Apa ini bagian dari rasa berdosa karena telah berburuk sangka padanya?
“Ya Allah yang Maha Membolak-balikkan hati, tunjukkan padaku jalan-Mu dan tuntunlah suamiku kembali pada kami, amiin.”
            Jika Allah mau mengampuni hambanya, mengapa kita tidak mencoba memafkan orang lain? Maka aku bulatkan tekad untuk kembali menemui Maria.
            Bismillahirrahmannirrahim, dengan menyebut nama Allah aku langkahkan kakiku menuju gelak tawa pasar sore ini. Menyusuri deru tawar menawar antara pembeli dan penjual, menyibak gaduh dari anak-anak kecil yang merengek minta kue. Hidungku mengais-ngais bau manis dari berbagai macam es, mencari bau manis es blewah buatan Maria. Pandanganku beredar mencari kedai es blewah yang kemarin aku temukan tidak jauh dari pedagang opor, tapi kali ini tidak kutemukan. Apa aku salah tempat? Maka kutanyakan keraguanku pada salah satu pedagang kue di pasar.
            “Maaf Bu mengganggu, apa ibu tahu di mana penjual es blewah yang ada di sana?”
            “Owh, Bu Maria yang kakinya buntung satu itu? Dia masuk rumah sakit katanya gagal ginjalnya kumat.”
            “Apa?” aku terkejut setengah mati bagaimana bisa ibu itu mengatakan kata ‘buntung’ dengan wajah innocent, “Dimana Ia di rawat?”
            “Di rumah sakit kota karena hanya di sana yang memiliki alat untuk cuci darah. Anda siapanya ya?”
            “Saya saudaranya.” jawabku mengelak.
            “Saudara dari suami barunya itu ya?”
            “Suami baru? Siapa?” mataku melotot penuh rasa tanya.
            “Kau tidak tahu? Dua bulan lalu Maria kecelakaan dan harus diamputasi kakinya. Padahal ia punya penyakit gagal ginjal dan disfungsi otak, aku sendiri tidak paham bagaimana akhirnya orang yang menabrak itu malah menikahinya.”
            Serasa ada gunung yang jatuh menimpa kepalaku. Bagaimana bisa aku tidak tahu kejadian yang dialami suamiku hingga akhirnya Ia menikahi Maria. Aku berlari tergopoh-gopoh mencari taksi menuju rumah sakit. Sepanjang perjalanan aku membayangkan suamiku berada di sampingnya dengan wajah harap-harap cemas. Terakhir kali aku melihat suamiku cemas ketika aku melahirkan si bungsu Fadli. Kini bagaimana bisa aku melihat suamiku mencemaskan wanita lain?
            Tiba di rumah sakit aku menuju meja resepsionis mecari tahu kamar inap Maria. Setelah mendapat informasi aku berlari menuju kamar Maria dan mendapati suamiku duduk di depan kamar dengan wajah lusuh, kantung mata hitam seperti panda dan dasi yang berantakan. Semua itu menunjukan bahwa dia sudah menunggu Maria sepanjang malam. Perlahan kudekati Ia dengan langkah tenang agar tidak membangunkannya. Dari luar kamar aku lihat Maria terlelap dengan selang infuse yang masih menggantung dan selang oksigen kini menjadi salah satu tumpuan hidupnya. Banyak kabel yang menempel di tubuh Maria, aku sendiri tidak yakin apa fungsi kabel-kabel itu, tapi yang jelas ia sungguh lemah tak berdaya.
            “Bagaimana kau bisa ada di sini?” tanya seseorang sambil menepuk bahuku dari belakang.
            “Mas Didi? Aku…, aku sedang…,” jawabku terbata karena bingung.
            “Kaupasti sudah tahu soal Maria? Sudah lama Maria ingin memberitahu ini namun aku larang karena aku belum siap, maafkan aku!”
            Suamiku menangis. Sebagai seorang istri aku tidak bisa berbuat apa-apa dan baru kali ini aku merasa canggung bersikap di hadapan suamiku. Seberapa cintakah Ia pada Maria hingga Ia menangis? Atau begitu besar rasa takutnya kehilangan Maria?
            “Sebentar lagi maghrib, ayo ke kantin untuk buka puasa, nanti akan kuceritakan semuanya.” pinta suamiku dengan pandangan sayu.
            Selepas buka puasa aku dan suamiku kembali ke kamar Maria menunaikan shalat maghrib jamaah. Rasanya sudah lama sekali kami tidak menjalankan shalat jamaah bersama, bahkan aku lupa kapan terakhir kami shalat bersama. Aku ingat janji awal sebelum menikah bahwa nanti kami akan membangun keluarga kecil yang sederhana akan kebahagiaan, mengajari anak-anak kami rasa bersyukur kepada Sang Pencipta namun sayang kami lupa pada janji indah itu. Selesai shalat aku menangis dan mencium tangan suamiku. Bau wangi tangannya tidak berubah meski Ia sudah dimiliki wanita lain. Suamiku mengelus kepalaku dan menciumnya sambil menahan tangis.
            “Maafkan aku, aku gagal menjadi seorang suami yang adil untukmu. Aku gagal menjadi ayah yang baik untuk anak-anak kita, tapi yakinlah bahwa aku memiliki alasan selama kepergianku dua bulan ini.”
            “Jelaskan padaku kenapa kau perlakukan aku dan anak-anak seperti ini?” tanyaku dengan tersedak tangis.
            “Dua bulan lalu pukul sebelas malam selepas lembur aku pulang lewat jalur alternatif. Niatku agar lebih cepat sampai rumah karena jalannya sepi. Tanpa sengaja aku yang saat itu mengantuk menabrak seorang wanita dengan gerobak esnya. Aku sangat takut, benar-benar takut maka dari itu aku bawa Ia ke rumah sakit dan betapa terpukulnya aku mendengar vonis dokter bahwa kakinya harus diamputasi karena hancur terlindas ban mobilku,”  suamiku menangis tersedu-sedu, Ia mengambil nafas panjang sebelum memulai lagi ceritanya.
            “Hhhfftt…, tanggung jawabku sebagai seorang lelaki semakin ditampar mengetahui bahwa Ia janda anak satu yang sedang berjuang melawan penyakitnya. Yang Ia miliki sekarang tinggal seorang kakak laki-laki dan anak perempuan.”
            “Berhenti! Anak perempuan itu bukan anakmu?” tanyaku setengah kaget.
            “Iya Angel bukan darah dagingku, Ia anak Maria dengan mendiang suami pertamanya. Maria mengalami disfungsi otak dan ginjalnya sudah tidak berfungsi normal, aku tidak tahu anggota badan mana lagi yang akan kehilangan kesadarannya? Bahkan akhir-akhir ini Ia sering mengompol dan kebingungan. Setelah kecelakaan itu aku justru menambah bebannya karena Ia harus kehilangan satu kaki. Maria tidak pernah marah padaku, Ia menangis bukan karena kehilangan kakinya tapi karena Ia takut kehilangan Angel. Maria takut Angel tidak akan merasakan hidup dalam keluarga utuh. Maka dari itu aku putuskan untuk menikahinya. Akan tetapi biaya pengobatan Maria semakin mahal dan kesadaran semakin menurun. Itu yang menyebabkan aku tidak pulang untuk merawat Maria. Maafkan aku, aku tidak berani mengatakan ini padamu.”
            “Sudahlah suamiku berhenti menangis, aku tidak akan marah padamu tapi kenapa kau takut menceritakan ini padaku sejak awal?”
            “Aku tahu kau sangat takut poligami maka dari itu aku menyembunyikan Maria. Sedangkan Maria tidak ingin menyakitimu lebih lama dan ingin menjelaskan bahwa ini juga demi akidah kita. Jangan sampai aku menjadi zina karena menjaga wanita yang bukan muhrimku.”
            Semua menjadi terang sekarang, aku yang kurang peka sebagai seorang istri. Aku menyalahi agamaku, melukai suamiku dan berprasangka buruk pada wanita sholekhah. Kini tinggallah kami berdua bercengkrama dalam duka, mengusik malam yang membiru dalam naungan cinta Illahi. Dari balik pintu kudengar samar-samar suara tangisan seseorang. Aku beranjak dari dudukku beralih melihat sosok yang meringkuk gusar.
            “Kuncoro? Masyaallah..,”
            Aku menangis memeluk Kuncoro, anakku sayang, anakku yang keras hati, kini Ia lemah karena terluka terlalu dalam akibat kesalahanku. Maafkan Ibumu yang berdosa ini.
            “Maafkan Kuncoro yang keras kepala ini Bu, maaf aku sudah menyusahkan Ibu.” Kata Kuncoro seraya memelukku dengan erat. Ia mengendorkan pelukkannya dan melihat ke arah Ayahnya.
            “Maafkan Kuncoro yang telah berburuk sangka pada Ayah,”
            “Tidak Nak, Ayah yang salah, Ayah tidak adil pada kalian.”
            Kuncoro berlari memeluk Ayahnya, ada rasa lega luar biasa menyelubungi dadaku. Di tengah derai air mata kami Maria terbangun.
            “Bolehkah aku juga memeluk kalian bukan sebagai orang asing tapi sebagai keluarga?” pinta Maria dengan desau yang masih lemah.
            “Tentu saja Maria.” serentak kami memeluk Maria sebagai tanda penerimaannya sebagai anggota baru keluarga kami.
            Hari ini adalah shalat tarawih pertamaku lengkap bersama suami, Kuncoro, dan Maria. Meski sambil terbaring Maria dengan kitmad menjadi makmum dan mengiringi ‘amin’ di setiap doa kami. Aku siap lahir batin menjaga Angle selayaknya anak kandungku, aku rela menghabiskan sisa ramadhan ini di rumah sakit merawat Maria. Kuncoro sudah luluh untuk menerima Maria dan Angle, aku yakin pasti Aan dan Fadli juga ikhlas menerimnya.
            Ya Allah terima kasih atas ramadhan yang luar biasa indah ini, tidak hanya untukku tapi untuk keluarga baruku juga. Aku tidak tahu berapa lama Maria akan bertahan melawan penyakitnya, namun yang selalu aku ingat adalah pesan Maria di malam ramadhan ke 20.
            “Jagalah keempat anakmu dengan baik karena merekalah mujahis dan mujahidah kita. Jadilah istri sholekhah yang akan menopang suamimu saat Ia lemah. Jadilah guru terhebat untuk Aan, Kuncoro, Fadli dan Angle karena engkaulah sumur ilmu pertama mereka. Aku yakin kau pasti bisa!”
            Mulai saat ini aku tidak perlu malu pada dinding-dinding yang mencibir angkuh atas kesalahanku kala silam. Aku semakin yakin bahwa Allah tidak akan menguji manusia melewati batas kemampuannya. Fainnama’al ‘usri yusra, di balik kesulitan itu ada kemudahan.
            Dalam hati aku bergumam lirih, “Terimakasih anak-anakku, suamiku, Maria, kalian adalah alasan mengapa aku bisa sekuat ini. Kalian mengajarkan padaku arti berbagi kasih sayang dan keikhlasan. Maka tetaplah di sini, di hatiku, baik ramadhan tahun ini maupun ramadhan tahun-tahun berikutnya.”



Dhien
Lucu...
Flashback ke tahun 2004. Bila aku ingat kembali dengan usia beliauku yang baru menginjak 12 tahun sebuah sebuah mimpi besar berani aku utarakan. Entah meski dengan apa aku mewujudkannya? Aku takut bila Mama tahu akan menentang mentah-mentah niat jadi "Penulis"
konyolnya aku mulai menulis meski dengan sebuah buku dan sebatang pensil. setidaknya aku ada usaha untuk mengasah minat.
tanggapan teman-teman?
Alhamdulillah...... semua support :D
masuk SMP efek baca novel "Fairish" jadi tergugah buat ngetik novel juga. Dengan komputer kerjanya bapak setiap malam minggu nyempetin waktu semalam suntuk ngetik novel. Walaupun kosa kata dan ejaan masih amburadul setidaknya aku "WAKTU ITU" punya keberanian mencoba, punya tekad dan berusaha.

Trus loncat deh ke tahun 2009
Mama sangat mendukung kegiatanku menulis meski saran mama "Jangan jadikan ini karier utamamu, kamu bisa lebih dari ini."
aku rasa Mama benar. Suatu hari nanti aku bisa berkarier sambil nulis, ngurus suami, anak, masak di dapur, and be super Mama "kayak mamaku sekarang" :D
Pada akhirnya memang novelku ditolak sama redaksi. Tapi kata Mama
"Gag papa Dek, kalau naskah mu dikirim dan langsung lolos, Allah tahu mungkin kamu akan jadi sombong nantinya. Jadi ditunda dulu ya Nak."
Suer demi langit yang kelap-kelip mau bunyi gledek nih....
Waktu itu masih ababil banget, dinasehatin gitu ya cuma nangis doang responnya.
Lalu........, bagaimana dengan aku "SEKARANG"?
Jauh dari "Maju"
Aku lupa bagaimana dulu bahagianya aku saat menulis.
Aku lupa bagaimana puasnya saat satu tulisan sudah selesai dikerjakan.
Aku lupa bagaimana aku menikmati hidup dengan menulis.

Bismillahirrahmannirrahim
Hari ini, aku bulatkan tekad buat kembali menulis.
Meski sekedar cuap-cuap gag penting blog baru ini
tapi dengan niat tulus, semoga Blog ini dapat bermanfaat buat aku, hidupku, dan orang lain.
^_^
semangat dhien !!!